BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Mu’tazilah
merupakan satu dari beberapa aliran teologi dalam Islam. Ciri utama dari aliran
ini ialah lebih mengedepankan pertimbangan akal disamping nash-nash dalil syara’.
Dalam perjalanannya, mu’tazilah banyak memberikan
warna dalam dunia Islam. Baik dalam bidang politik, ilmu pengetahuan, filsafat dan sebagainya, terutama dalam hal aqidah.
Disamping itu, para tokoh aliran mu’tazilah juga sering
mengeluarkan fatwa-fatwa yang cukup menggemparkan ummat Islam. Diantaranya
ialah fatwa tentang kemakhlukan Al-Quran yang cukup menyedot perhatian kala itu
bahkan masih sering diperbincangkan hingga saat ini.
Namun aliran mu’tazilah juga memainkan peranan penting
dalam sejarah perkembangan pemikiran di dunia Islam. Dikabarkan mereka amat
senang berdebat dimuka umum. Sirajudin Abbas mengatakan bahwa hampir 200 tahun
dunia Islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka.[1] Ini membuktikan bahwa betapa semaraknya kegiatan-kegiatan keilmuan pada
masa mereka. Selain itu juga mereka mendebat habis-habisan orang-orang yang ingin merusak Islam dari luar atau dalam seperti orang-orang Zindiq, Murtad, Keristen,
Yahudi dan sebagainya.
Pada zaman moderen aliran ini sudah punah, namun kerangka
pikiran dari aliran ini banyak bermunculan kembali. Di masyarakat banyak
terjadi kesilapan serta salah kaprah dan menganggap ajaran dari aliran ini
sangat berbahaya, sesat, menyimpang dan sebagainya, serta menyalahkan begitu saja
tanpa mengetahui dasar pemikiran serta argumen mereka. Bila kita sudah
mengetahui dasar pikiran serta argumen yang mereka gunakan, akan lebih bijak
dalam menyalahkan atau mendukung dengan menyebutkan bantahan atau dukungan yang
kita anggap benar, tentu didasari argumen yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dari itu perlu rasanya kita kembali melakukan analisis
dan refleksi terhadap aliran ini dengan menengok kembali latar belakang
lahirnya aliran ini, bagaimana pokok-pokok pikiran serta tokoh-tokoh dan figur
utamanya, karakteristik dan perkembangan dari aliran mu’tazilah ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari uraian di atas, pemakalah dapat
menyimpulakn pokok-pokok bahasan yang akan kita bahas dalam makalah ini yaitu:
1.
LATAR BELAKANG KELAHIRAN
2. TOKOH DAN FIGUR UTAMA
3. KARAKTERISTIK DAN POKOK-POKOK PIKIRAN
4. PERKEMBANGAN
5.
ANALISIS DAN REFLEKSI
BAB II
PEMBAHASAN
A. KELAHIRAN MU’TAZILAH
Kata mu’tazilah secara Etimologi (harfiah) berasal
dari kata “I’tazala” (عتزل)
yang berarti berpisah, memisahkan diri, menjauh, menjauhkan
diri,[2]
atau menyisihkan diri.[3]
Sedangkan secara Terminologi mu’tazilah adalah nama suatu golongan.
Dalam makalah ini golongan mu’tazilah yang kita bahas ialah mu’tazilah dalam
Islam, terutama golongan ahli Kalam.
Banyak pendapat yang menjelaskan munculnya aliran ini.
Namun pada dasarnya terdapat dua pendapat munculnya aliran mu’tazilah. Pertama,
golongan ini muncul sebagai suatu kelompok di kalangan ‘Ali. Kelompok
ini muncul dari sahabat yang gerah melihat kekacauan politik umat Islam pada
masa ‘Ali. Beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’d ibn Abi
Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala)
dan memperdalam pemahaman agama dan meningkatkan hubungan kepada Allah.[4] Abu al-Hasan al-Thara’ifi mengatakan: “Mereka menamakan diri dengan
Mu'tazilah ketika Hasan bin’Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerakhan jabatan
khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua
orang lain. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka mengatakan,
‘Kami bergelut dengan ilmu dan ibadah’.” [5]
Kedua, aliran ini timbul pada awal abad II Hijriyah berkenaan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (w. 131 H) dan ‘Amir bin Ubaid (w. 144 H) dengan guru mereka, Hasan Al-Bashri (w. 110 H).[6] Dijelaskanoleh Al-Bagdadi sebagaimana
dikutip oleh Drs. H. Salihun A. Nasir dalam bukunya Pengantar Ilmu Kalam:
وَخَرَجَ
وَاصِلُ ابْنِ عَطَاءَ عَنْ قَوْلِ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَزَعَمَ
اَنَّ الْفَاسِقَ مِنْ هَذِهِ الْاُمَّةِ لَامُؤْمِنٌ وَلَاكَافِرٌ وَجَعَلَ
الْفِسْقَ مَنَزِلَةً بَيْنَ مَنْزِلَتَيَ الْكُفْرِ وَلْاِيْمَانِ فَلَمَّا
سَمِعَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ مِنْ وَاصِلٍ بِدْعَتَهُ هَذِهِ الَّتِى خَلَفَ
بِهَا اَقْوَالُ الْفِرَقِ قَبْلَهُ طَرَدَهُ عَنْ مَجْلِسِهِ، فَاعْتَزَلَ عِنْدَ
سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِيْ مَسْجِدِ الْبَصْرَةِ وَانْضَمَ اِلَيْهِ قَرِيْنُهُ
فِيْ الضَّلَالَةِ عَمْرُوبْنُ عُبَيْدِ بْنِ بَابَ كَعَبْدٍ صَرِيْخُهُ اَمَةً
سُمِيَ اَتْبَا عُهُمَا يَوْمَئِذٍ مُعْتَزِلَةً.
Artinya: “Washil bin ‘Atho berbeda pendapat dengan golongan-golongan
yang sudah ada (Syi’ah, Khawarij, Salaf. Pen.). Dia berpendapat bahwa orang
yang fasiq dari umat islam ini tidaklah mukmin dan tidak pula kafir,
menjadikannya fasiq berada pada suatu tempat antara dua tempat antara kafir dan
iman. Tatkala Imam Hasan Al-Bashri mendengar bid’ahnya, Wsahil ini yang
bertentangan dengan golongan-golongan sebelumnya, dia lalu mengusir dari
majlisnya. Dia (Washil) menyendiri pada suatu sudut diantara sudut-sudut masjid
kota Bashrah. Dia didukung oleh temannya dalam kesesatan bid’ah ini yaitu Amr
bin Uabaid bin Bab seperti layaknya seorang budak laki-laki yang ditolong oleh
budak perempuan. Mulai waktu itu masyarakat mengatakan bahwa keduanya telah
mengasingkan diri dari pendapat ummat. Dan sejak itu pula pengikut-pengikut
keduanya dinamakan Mu’tazilah.”[7]
Bila kita memperhatikan kisah diatas, akan nampak
subjektif, namun kisah diatas merupakan salah satu pendapat tentang
kemunculan aliran mu’tazilah berdasarkan
peristiwa antara Washil dengan gurunya Hasan Al-Bashri.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan
mu’tazilah menurut pendapat kedua ini tidak terlepas dari kemunculan mu’tazilah
pada akhir masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib berkenaan dengan pendapat para
sahabat saat itu tentang perpecahan dan pembunuhan yang terjadi di antara para
sahabat. Pasti di antara mereka ada yang
bersalah namun tidak mengetahui yang mana. Yang salah di antara mereka tidak bisa
dianggap sebagai orang mukmin menurut yang sebenarnya.[8]
Mengenai penamaan
golongan ini dengan nama mu’tazilah, terdapat banyak pendapat. Ada yang
mengatakan karena Washil memisahkan diri dari gurunya seperti kisah di atas,
yang lain mengatakan karena pendapat mereka tentang orang yang berbut dosa
besar jauh dari golongan mukmin dan kafir.[9]
Pendapat yang lain mengatakan karena pendapat mereka tentang pelaku dosa besar
jauh dari pendapat kebanyakan, ada juga yang mengatakan karena mereka terdiri
dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonomi, dan menolak hidup
bersenang-senang atau yang hidup zuhud terhadap dunia.[10]
Ahmad Amin dalam bukunya “Fajr Al-Islam” sebagaimana dikutip
Imam Muhammad Abu Zahrah bahwa mu’tazilah diberikan kepada golongan ini
karena persamaan yang besar dengan sebuah golongan Yahudi yang bernama
mu’tazilah. Persamaan mereka seperti menafsirkan kitab suci dengan logika
filsafat.[11]
Terlepas dari semua itu, mereka menamakan diri dengan “Ahlu Al-Adl wa Al-Tauhid.”[12]
B. TOKOH DAN FIGUR ALIRAN MU’TAZILAH
Banyak sekali tokoh-tokoh dan figur dari aliran ini
disamping dari golongan Ulama dan Khalifah. Diantara tokoh-tokoh dan figur
mu’tazilah[13]pada
abad II Hialah Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaid dengan
murid-murid mereka seperti Utsman At-Thawil, Hafsh bin Salim, Khalik bin
Sofwan dan Ibrahim bin Yahya Al-Madani. Pada permulaan abad III
H di Bashrah dipimpin olehAbu Hudzail
Al-Allaf (w. 235 H), Ibrahim bin Sayyar An-Naddham (w. 221 H), Abu
Basyar Al-Marisi (w. 218 H), Utsman Al-Jahiz (w. 255 H) pengarang kitab
Al-Hiwan, Ibnu Al-Mu’ammar (w. 210 H), dan Abu Ali Al-Juba’i
(w. 303 H). Sedangkan di Bagdad ada Basyar bin Al-Mu’tamar, Abu Musa
Al-Murdan, Ahmad bin Abi Duad (w. 240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.
234 H), dan Ja’far bin Harib Al-Hamdani (w. 235 H). Sedangkan tokoh dan figur di masa selanjutnya ialah Syarif
Radli (w. 406 H) pengarang kitab Majazul Qur’an, Abdul Jabbar bin
Ahmad yang lebih dikenal dengan Qadlil Qudlot penulis kitab Syarah
Ushulil Khomsah, Zamakhsyari (w. 528 H) dengan kitabnya Tafsir Al-Kasysyaf,
Ibnu Abil Haddad (w. 655 H) dengan karyanya Syarah Nahjul Balaghah,
dan lainnya.
Sedangkan tokoh dan figur dari kalangan khalifah yang
juga mendukung serta menganut mu’tazilah ialah khlifah Yazid bin Walid
(125-126 H) seorang khalifah Dinasti Umayyah. Dari Dinasti Abasyiah
ada khalifah Al-Makmun bin Harun Al-Rasyid (198-218 H), Al-Mu’tashim bin
Harun Al-Rasyid (218-227 H) dan khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim
(227-232 H).
C. KARAKTERISTIK DAN POKOK PIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH
Mu’tazilah merupakan aliran yang sangat mengedaepankan
akal dalam menemukan dalil, mereka berpagang erat pada peremis-premis logika
kecuali dalam hal yang tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil syara’.[14]Yang
demikian itu bukanlah tanpa sebab, mereka bersikap demikian karena beberapa
sebab seperti Basis mereka di Irak dan Persia yang terdapat suasana dialogis
sebagai sisa-sisa dari kebudayaan dan peradaban kuno, Mayoritas dari mereka
adalah mawali serta akibat dari merka banyak bergaul dengan orang-orang Yahudi,
Nashrani, dan sebagainya, dan pengaruh dari kefilsafatan kono.[15]
Akibatnya mereka berpegang mutlak pada kemampuan akal
sehinggga untuk menetapkan baik dan buruk bagi mereka harus dengan akal. Merka
mengatakan, “Semua pengetahuan dapat dipikirkan dengan akal, dan
kebenarannya mesti diujidengan akal. Mensyukuri nikmat sudah wajib sebelum
turunnya wahyu. Baik dan buruk merupakan sifat esensial dari kebaikan dan
keburukan itu sendiri.”[16]
Mengenai kemakhlukan Al-Qur’an, ada yang mengatakan
mereka dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi dan ada pula yang mengatakan dari orang
Kristen seperti Saint John Of Damascus (676-749 M) atau lebih dikenal
dengan Ibnu Sarjun, dan Tsabit bin Qurrah (836-901 M) serta Kusto
bin Lucas (820-912 M).[17]
Namun Abu Zahrah menjelaskan bahwa mereka mengatakan Al-Qur’an itu makhluk
semata-mata ialah karena ingin melindungi aqidah orang islam supaya tidak
menyerupai pendapat orang-orang keristen tentang “Al-Masih” dan akan
melahirkan paham “Ta’adud Al-Qudama’” (banyaknya yang kekal).[18]
Diantara pendapat-pendapat mereka ialah: Orang yang
berdosa besar tidak mukmin dan kafir, tapi di antara keduanya yaitu fasik,
Allah tidak mempunyai sifat, Baik dan buruk ditentukan akal, Allah tidak bisa
dilihat walaupun di akhirat nanti, Al-Qur’an itu Makhluk, bukan Qadim,[19]
Menolak adanya Isra’ dan Mi’raj Nabi dengan roh dan jasad,
Kebangkitan manusia dari kubur (Hasyr Al-Ajsad),[20] Allah
wajib berbuat baik dan yang terbaik bagi mausia (Ashshalah wa Al-Ashlah)[21]
Dan sebagainya.
Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran
ini tertuang dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau yang lebih dikenal
dengan “Al-Ushul Al-Khomsah.” Al-Khayyat, seorang tokoh mu’tazilah
pada abad ke III menegaskan:[22]
وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ اَحَدُ مِنْهُمْ
اِسْمَ الَاِعْتِزَالِ حَتَّى يَجْمَعَى الْقَوْلُ بِالْاُصُوْلِ الْخَمْسَةِ :
التَّوْحِيْدُ وَالْعَدْلُ وَالْوَعْدُ وَالْوَعِيْدُوَالْمَنْزِلَةُ بَيْنَ
الْمَنْزِلَتَيْنِ وَالْاَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ،
فَاءِذَا كَمُلَتْ فِيْهِ هَذِهِ الْخَصْلَةُ فَهُوَ مُعْتَزِلِيُّ.
Artinya: “Seseorang tidak berhak dinamakan mu’tazilah,
sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran , yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan
Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Apabila padanya telah sempurna kelimaajaran ini maka dinamakan mu’tazilah.”
Adapun penjelasan tentang lima pokok ajaran mu’tazilah (Al-Ushul
Al-Khomsah)sebagai berikut:
1.
Al-Tauhid ( Keesaan Tuhan)
Al-Tauhid ini merupakan inti dari paham mu’tazilah. Sebenarnya paham tauhid dianut oleh semua golongan teologi islam,
hanya saja dalam memandang ketauhidan bagi Allah SWT meraka berbeda penadapat dan
atau pandangan. Imam Muhammad Abu Zahrah menjelaskan metode mereka dalam menentukan
dalil aqidah. Ia menjelaskan:
“Dalam
menemukan dalil untuk menetapkan aqidah, mu’tazilah berpegang pada premis-premis
logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil
naql (teks).Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatan
mereka terhadap perintah- perintah syara’.
Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat diterima akal mereka
akui, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.”[23]
Al-Asy’ary
menerangkan paham ini dalam kitabnya “Maqalat Al-Islamiyyin” sebagaiman
adikutip Abu Zahrah:[24]
“Sesungguhnya
Allah adalah Esa, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat; tidak bertubuh, tidak berkulit, tidak berbilang,
tidak berupa, tidak berdaging, tidak berdarah, bukan pribadi, bukan jauhar,
bukan ‘aradh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak bisa diraba, tidak
panas, tidak dingin, tidak muda, tidak tua, tidak panjang, tidak pendek,
tidak dalam, tidak berkumpul, tidak berpisah, tidak bergerak, tidak diam,
tidak terbagi, tidak mempunyai bagian, tidak beranggota tubuh, tidak berarah, tidak
di kiri, tidak di kanan,tidak di depan, tidak di belakang, tidak di atas, tidak
di bawah, tidak terkait dengan waktu dan ruang, tidak mendekat, tidak menjauh,
tidak memerlukan tempat, dan sedikit pun tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk
yang menunjukan bahwa mereka adalah baharu, tidak disifati dengan berakhir, tidak pula
dapat disentuh, tidak mempunyai sifat mengarah ke suatu arah, tidak terbatas,
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak terikat dengan suatu ukuran,
tidak terhalang oleh dinding-dinding batas, tidak dapat ditangkap dengan panca indera, tidak dapat dianalogikan kepada manusia,
tidak menyerupai makhluk dari segi apapun, tidak berlaku waktu bagi-Nya dan tidak terjangkau kebinasaan. Semua yang telintas di pikiran dan tergambar di
benak pasti tidak serupa dengan-Nya. Dia Yang Awal dan Yang Akhir, mendahului segala
yang baru, ada sebelum makhluk manapun ada, senantiasa mengetahui, sanggup, hidup,
senantiasa begitu, tidak dapat dilihat oleh mata, tidak terjangkau pandangan,
tidak terjangkau keraguan, tidak mendengar dengan pendengaran; sesuatu yang
tidak menyerupai apapun, mengetahui, tidak seperti orang-orang yang tahu,
kuasa dan hidup. Dia Qadim dengan sendiri-Nya, tidak ada yang qadim selain Dia,
tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya. Tak ada
yang membantu Dia dalam mengadakan segala yang
ada dan menciptakan segala ciptaan. Dia menciptakan makhluk tanpa ada contoh lebih dahulu. Dalam menciptakan sesuatu tidak ada
yang lebih ringan atau yang lebih sulit dari menciptakan yang lain.
Dia tidak mengambil manfaat dan tidak tidak disentuh kemudaratan,
tidak terjangkau oleh kegembiraan dan kelezatan, tidak pula
sakit dan terkena penderitaan. Tak ada ujung yang mengakhiri Dia. Ia tidak fana serta tidak disentuh kelemahan dan kekurangan.
Maha Suci Dia dari menyentuh wanita, mengangkat teman dan anak.”
2.
Al-Adl (Keadilan Tuhan),
Ajaran dasar yang kedua ini merupakan manifestasi dari
kepercayaan tentang Kemahasempurnaan Tuhan. Menurut mereka Tuhan harus berbuat
adil karean secara akal Tuhan tidak mungkin tidak adil. Hal ini berkaitan erat
dengan doktrin bahwa manusia berbuat dengan keinginan sendiri dan Tuhan wajib
berbuat yang baik dan terbaik.[25]
Keadilan menurut mereka ialah meletakan tanggung jawab
manusia pada segala perbuatannya, baik atau buruk.[26]
Kebaikan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan keburukan
(ganjaran dosa), manusia mendapatkannya atas kemauan dan kemampuannya sendiri
dan tidak terpaksa.[27]
3.
Al-Wa’d Wal Wa’id (Janji dan Ancaman Tuhan),
Tuhan telah berjanji akan memberi pahala bagi orang yang
berbuat baik dan dosa bagi yang berbuat jahat atau buruk, karena itu Tuhan pasti
akan melaksanakannya. Oleh sebab itu mereka mengingkari adanya Syafaat.[28]
Mereka mengatakan:
يَجِبُ عَلَى
اللهِ أَنْ يُثْبِتَ الْمُطِيْعَ وَيُعَاقَبَ مُرْتَكِبَ الْكَبِيْرَةِ .
فَصَاحِبُ الْكَبِيْرَةِ إِذَا مَاتَ وَلَمْ يَتُبْ لَايَجُوْزُ أَنْ يَعْفُوَ
اللهُ عَنْهُ لِاَنَّهُ أَوْعَدَ بِالْعِقَابِ عَلَى الْكَبَاءِرِ وَأَخْبَرَبِهِ
. فَلَوْ لَمْ يُعَاقِبْ لَزَمَ الْخَلْفُ فَى وَعِيْدِهِ وَلِأَنَّ الطَّاعَاتِ
وَالْأَمْرَبِهَا وَ الْمَعَاصِى وَالنَّهْرَ عَنْهَا.
Artinya: “Wajib bagi Allah memberi pahala bagi orang yang taat dan
menyiksa orang yang berbuat dosa besar. Orang yang berdosa besar apabila
meninggal dan tidak bertobat, Allah tidak boleh mengampuninya, karena Allah
telah mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tidak
menyiksanya, berarti Allah mengingkari ancaman-Nya. Taat kepada-Nya adalah
perintah-Nya dan maksiat adalah larangan-Nya.”[29]
4.
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Tempat Diantara Dua Tempat)
Ajaran inilah yang banyak ahli mengatakannya sebagai
sebab lahirnya aliran ini. Ajaran ini berkenaan dengan orang mukmin yang
melakukan dosa besar, Khawarij mengatakan orang tersebut kafir sedangkan
Murji’ah mengataka ia tetap mukmin, masalah dosanya terserah kepada
Allah diampuni atau tidak. Mu’tazilah tidak.[30]
Pendapat mereka tentang seorang muslim yang melakukan
dosa besar adalah tidak muslim lagi dan tidak pula kafir, tetapi di antara
keduanya, yaitu Fasiq.[31]
وَالْكَبَاءِرُ
يُسَمَّى مُرْتَكِبُهَا فَاسِقًا وَالْفِسْقُ مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ
لَاكُفْرَ وَلَا إِيْمَانَ . فَلْفَاسِقُ لَيْسَ مُؤْمِنًا وَلَاكَافِرًا بَلْ
هُوَ فِى مَنْزِلَةٍ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ.
Artinya: “Dosa-dosa besar ini pelakunya dinamakan
fasik. Fasik itu berada pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak kufur
tidak pula beriman. Orang fasik bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia
berada pada suatu tempat di antara dua tempat.”[32]
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Prinsip ini bukanlah monopoli dari aliran mu’tazilah,
artinya aliran yang lainpun mengakui prinsip atau ajaran ini. Di dalam
Al-Qur’an juga terdapat keterangan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini seperti
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّهِ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُوْنَ
Artinya:“Kamuadalahumat yang terbaik yang
dilahirkanuntukmanusia, menyuruhkepada yang ma'ruf, danmencegahdari yang
munkar, danberimankepada Allah. SekiranyaAhliKitabberiman,
tentulahitulebihbaikbagimereka, di antaramerekaada yang beriman,
dankebanyakanmerekaadalah orang-orang yang fasik.”[33]
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُوْرِ
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikianitutermasukhal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”[34]
Perbedaannya dengan aliran yang lain mengenai ajaran ini
ialah pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mereka dalam menjalankan asas kelima
ini bisa dengan kekerasan jika memang diperlukan.[35]
Mereka mengatakan:
“Sesungguhya menghunus pedang dalam urusan Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu
wajib apabila tidak mungkin menolak kemungkaran dengan cara itu. Barang siapa
berpendirian benar, wajib atasnya memperjuangkannya. Apabila merealisir tujuan
ini dengan cara lemah lembut dan lisan dipandangnya cukup, dan bila tidak
cukup, maka harus mempergunakan pedang.”[36]
Sebabitulahdalammenerapkanpahammerekatentangkemakhlukan
Al-Qur’an, merekamelakukan “Mihnah” yang banyakmemakankorbandarigolonganMuhadditsindanFuqaha.Dari
sinilahmerekamulaidipandangradikaldandibenciolehsebagianbesar orang saatitu,
darigolonganulamaataupunawam.Namunmeskipunmerekaberpendapatdemikian,
merekatidaksesadisKhawarij.
D. PERKEMBANGAN MU’TAZILAH
Dalam perkembangannya, mu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan
(Firqoh). Namun para ahli dalam menentukan firqoh-firqoh tersebut berbeda pendapat.
Zaini menyebutkan bahwa aliran mu’tazilah terpecah menjadi
beberapa golongan, yaitu: Golongan Washiliyah dari Wasil bin Atha’,
Huzailiyah dari Huzail bin Allaf, Nazamiah dari Sayyar bin
Nazham, Hiathiyah dari Ahmad bin Haith, Basyariyah dari Basyar
bin Muammanah, Ma’mariyah dari Ma’mar bin Ubaid, Mizdariyah dari
Abu Musa Al-Mizdar, Tsamamiyah dariTsamamah bin Asrasy, Hisyamiah dari
Hisyam bin Jahizh, Khayaithiyah dari Abu Hasan Al-Hayath danGolonganJubaiyah
dari Abu Ali Al-Jubay.[37]
Abu Zahrah menambahan dengan golongan Hasyimiyah dari
Abu Hasyim ‘Abdul Salam bin Abi ‘Ali Al-Juba’I dan Jahizhiyah dari
Al-Jahiz. Ia mnyebutkan bahwa pendiri Hisyamiyah bukaHisyam bin Jahizh tapi
Hisyam bin Umar Al-Futhi.[38]
Sedangkan Nasir menambanhkan dengan golongan Aswariyah, Iskafiyah,
Shalihiyah, Hadabiyah, Ja’fariyah, Al-Kabiyah dan golongan Bahsyamiyah
tanpa menyebutkan pendirinya.[39]
E. ANALISIS DAN REFLEKSI
Jika kita merunut kembali dari sejarah kemunculan dari
aliran ini, maka kita akan mendapatkan bahwa Mu’tazilah yang muncul pada masa
Ali merupakan orang-orang yang zuhud, ahli ibadah dan tidak terpedaya dengan
kemolekan dunia politik. Selain itu mereka juga adalah orang-orang yang bijak,
tidak memihak pihak manapun serta tidak tergesa-gesa dalam menentukan siapa
yang salah. Hal tersebut dapat kita dapati dari pernyataan mereka, ‘Kami
bergelut dengan ilmu dan ibadah’.” [40]
Sedangkan Mu’tazilah yang kedua, murni lahir dari suasana
dan lingkungan serta masalah keilmuan. Washil keluar dari majlis gurunya karena
mempertahankan argumernnya,bukan kaerna memberontak atau ingin merusak islam
sebagaimana ditujukan terhadap beberapa aliran. Dengan begitu, kita mengetehui
bahwa Washi merupakn sosok yang tegas dan bukan pentaklid. Hal ini terbukti
dari sikap dari pengikutnya yang juga menempuh jalan yang dilaluinya. Mereka
tidak menerima begitu saja suatu pendapat tanpa berusaha membuktikan
kebenarannya walaupun itu dari gurunya.
Selain itu, mereka juga sangat berjasa dalam membangun
peradaban Islam, terbukti dengan pendapat-pendapat mereka yang agak keluar dari
pendapat yang umum, telah memaksa para ulama dan cendikiawan untuk mengkaji
ulang dan mendalam tentang hal-hal yang berkaitan. Disamping itu, kegemaran
mereka berdebat di muka umum sedikit banyak juga mendongkrak mental keilmuan
dari umat islam saat itu. Keadaan ini berimbas dan berkembang pada aspek
lainnya sehingga membawa kepada puncak kemajuan dan kejayaan islam terutama
dari segi perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain jasa-jasa tersebut, mu’tazilah juga turut
melindungi islam dari pencemaran aqidah. Mereka melindungi islam dari
kelompok-kelompok sesat seperti Syi’ah Ekstrim (Ashab Al-Qulat),[41]
dan serangan agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala,
ahli bid’ah, zindiq dan sebagainya. Selain itu, Abu Zahrah juga menjelaskan:
“Lima dasar (Al-Ushul Al-Khamsah) paham mu’tazilah yang mereka dukung dan pertahankan hanya
merupakan hail serangkaian perdebatan sengit yang terjadi antara mereka dan
lawan-lawan mereka tersebut. Prinsip tauhid mereka, dimaksudkan untuk menolak
paham Al-Muajassimah dan Al-Musyabbihah, prinsip keadilan dimaksudkan untuk
menolak paham Al-Jahmiyyah, dan prinsip janji dan ancaman untuk membantah paham
Murji’ah. Adapun tempat di antara dua tempat untuk menolak paham Murji’ah dan
Khawarij sekaligus.[42]
Dalam hal ajaran yang mereka gaungkan, merka mengeluarkan
fatwa-fatwa yang digali dengan dominasi akal atau logika filsafat murni. Bahkan
dalam menentukan dalil aqidah, mereka meletakan akal diatas nash. Menurut
mereka, Al-Qur’an merupakan pelengkap dalam menentukan suatu hukum setelah
akal. Jika ada ayat-ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan akal, maka mereka
melakukan penafsiran ulang sampai selaras dengan akal. Mereka berdalih bahwa
Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah tidak mungkin bertentangan dengan
akal.
Hal itu memang benar, namun kemampuan akal itu terbatas
dan kesimpulan dari akal banyak dipengaruhi oleh kerangka berpikir dari setiap
orang yang setiap orangpun tidak mesti sama kerangka berpikirnya. Berangkat
dari hal tersebut, maka kita perlu mendapatkan atau menggunakan kerangka
berpikir yang benar. Oleh sebab itu Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus
Rasul-Nya untuk membimbing kita bagaimana menempuh hidup didunia ini termasuk
menempuh kerangka berpikir yang benar. Maka bukanlah Al-Qur’an yang harus
sesuai dengan kehendak akal, namun akallah yang harus diarahkan sesuai dengan
arahan Al-Qur’an. Selain itu Nabi juga pernah bersabda:
مَنْ فَسَّرَ
الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّاءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه الترميذي والنساء)
Artinya: “Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan
pikiran saja, maka hendaklah menyiapkan dirinya dalam neraka.” (HR Turmudzi dan Nasa’i)
Selain itu, jika akal menempati tempat di atas nash,
tentu sudah ada yang memecahkan tantangan unutk membuat satu atau beberapa
surah atau ayat yang seumpama dengan Al-Qur’an. Penolakan mereka terhadap Isra’
dan Mi’raj Nabi serta kebangkitan dari kubur dengan jasad, seolah-olah
meregukan kekuasaan Allah. Padahl Allah telah berfirman:
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى
عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىَ يُحْيِـي هَـَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ
اللّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْماً
أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَى طَعَامِكَ
وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً
لِّلنَّاسِ وَانظُرْ إِلَى العِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْماً فَلَمَّا
تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Atau apakah
(kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya)
telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: ‘Bagaimana
Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka
Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah
bertanya: ‘Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?’Ia menjawab:
‘Saya tinggal di
sini sehari atau setengah hari.’ Allah
berfirman: ‘Sebenarnya kamu telah tinggal di
sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang
belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang
telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami
bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali,
kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya
(bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: ‘Saya yakin bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”[43]
Wawllahu A’alam Bisshowab.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada duapendapat munculnya aliran ini. Pertama,
sebagai suatu kelompok yang bersikap netral atas kekacauan diantara ‘Ali dan
Mu’awiyah. Kedua, peristiwaWashil bin Atha’(w. 131 H) dan ‘Amir
bin Ubaid (w. 144 H) dengan guru mereka, Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
yang membicarakan perihal pelaku dosa besar dari orang islam.
Tokoh dan figur dari aliran ini yang paling terkenaldanutamaialah Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaidsebagaipendirialiranini. Sedangkan dari kalangan khalifah ialah Yazid bin Walid
(125-126 H) seorang khalifah Dinasti Umayyah, Al-Makmun bin Harun Al-Rasyid (198-218 H), Al-Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
(218-227 H) dan khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (227-232 H)dari Dinasti
Abasyiah.
Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran
ini tertuang dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau (Al-Ushul Al-Khomsah)
yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar.
Aliranmu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan,
yaitu: Washiliyah, Huzailiyah, Nazamiah, Hiathiyah, Basyariyah, Ma’mariyah,
Mizdariyah, Tsamamiyah, Hisyamiah, Khayaithiyah,Jubaiyah,Hasyimiyah, Jahizhiyah, Aswariyah, Iskafiyah, Shalihiyah, Hadabiyah,
Ja’fariyah, Al-Kabiyah danBahsyamiyah.
Alirammu’tazilahlahirdaridanoleh orang-orang
yang hebatserta berkomitmen baik. Aliran ini sangat berjasa kepada islam. Banyak hal
mereka lakukan unutk islam. Namun, karena dalam pengambilan dalil dengan
mengedepankan akal diatas nash, sedikit banyak merekapun keliru dalam beberapa
hal. Selain itu, dengan adanya Mihnah, banyak orang dari ulama ataupun
awam yang membenci mereka sehingga melupakan jasa-jasa mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
H. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Presada, Cet II, 1994
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik
dan ‘Aqidah dalam Islam, (terj.Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah oleh
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib), Jakarta: Logos Publishing House, 1996
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah;
Kontekstualitas Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, Cet II, 2003)
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Surabaya:
Al-Ikhlas, 1983
[1]Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) h.422.
[2]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, Cet II, 2003) h.77
[3]H. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu
Kalam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Presada, Cet II, 1994) h.106
[4]Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualitas
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h.122
[5]Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran
Politik dan ‘Aqidah dalam Islam(terj.Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah
oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib), (Jakarta: Logos Publishing House,
1996) h.149
[6]Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah...,
h.422
[15]Ibid.
[19]Nasir, Pengantar Ilmu..., h.114-124
[20]Ibid,
h.110
[21]Rozak, Ilmu Kalam..., h.84
[24]Ibid,
h.151
[27]Rozak, Ilmu Kalam..., h.84
[28]Zaini, Kuliah Aqidah..., h.424.
[29]Nasir, Pengantar Ilmu..., h.113-114
[31]Zaini, Kuliah Aqidah..., h.424.
[32]Nasir, Pengantar Ilmu..., h.113-114
[34]Q.S. Luqman (31): 17
[37]Zaini, Kuliah Aqidah..., h.425
[39]Nasir, Pengantar Ilmu..., h.179
[40]Abu Zahrah, Aliran Politik..., h.149
[41]Nasir, Pengantar Ilmu..., h.110
[42]Abu Zahrah, Aliran Politik...,
h.157
[43]Q.S. Al-Baqarah (2): 259