MOTTO

"JANGAN PERNAH BERHENTI UNTUK BERUSAHA DAN MENCOBA, DAN JANGAN PERNAH JUGA MENCOBA BERHENTI UNTUK BERUSAHA"

Senin, 22 Desember 2014

kandungan hadits tata cara berwudhu

MAKALAH
KANDUNGAN HADITS

TATA CARA WUDHU RASULULLAH SAW

ASHGOR KAMAL
152 111 004








JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MATARAM

BUNYI HADITS
عن حمران انّ عثمان دعا بوضوء فغسل كفّيه ثلاث مرّات ثمّ تمضمض و استنثر ثمّ غسل وجهه ثلاث مرّات ثمّ غسل يده اليمنى الى المرفق ثلاث مرّات ثمّ اليسرى مثل ذلك ثمّ مسح برأسه ثمّ غسل رجله اليمنى الى الكعبين ثلاث مرّات ثمّ اليسرى مثل ذلك ثمّ قال: رايت رسول الله صلى الله عليه و ساّم توضّأ نحو وضوئى هذا, ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: ]من توضّأ نحو وضوئى هذا, ثم قام فركع ركعتين, لا يحدّث فيهما  نفسه , غفرله ما تقدّم من ذنبه [(رواه مسلم)

Artinya: “Dari Humran, bahwasanya Utsman meminta air untuk berwudhu, lalu belaiu mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, lalu berkumur dan memasukan air ke dalam hidungnya dan menghembuskannya keluar, lalu beliau membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-sikunya tiga kali, lalu tangan kirinya seperti itu juga, lalu beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali, lalu kaki kirinya seperti itu juga, kemudian beliau berkata: ‘Saya melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhuku ini, lalu Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu berdiri melakukan sholat dua rakaat tanpa berbicara terhadap dirinya sendiri, diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lewat” . (H.R. Muslim).



KANDUNGAN HADITS
Hadits ini membahas tentang sifat wudhu Nabi yang dicontohkan oleh Utsman bin Affan. Hadits ini menggambarkan bagaimana menyempurnakan wuhdu.
عن حمران
“Dari Humran”
Hadits ini dari Humran bin Aban yang merupakan budak Utsman. Dia dikirim oleh Khalid bin Walid yang berasal dari tawanan perangnya, lalu beliau memerdekakannya.[1]
انّ عثمان دعا بوضوء
“Bahwasanya Utsman meminta air untuk berwudhu”
Utsman adalah putera dari Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ad bin Luay bin Ghalib, Al-Qurasyi al-Umawi al-Makki.[2] Di dalam kitab Fathul Baari terdapat hadits yang mirip dengan hadits ini dengan menggunakan lafaz  بإناء دعا yang menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang lain untuk menghadirkan sesuatu yang akan digunakan untuk bewudhu.[3]
فغسل كفّيه ثلاث مرّات
 “Lalu beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali
Kaffaihi ialah bagian tangan termasuk jari dengan batasan dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Kata ini berbentuk muannats, jamaknya kufuuf dan akuff, dinamakan kaf karena manusia berusaha mengamankan dirinya dengan bagian ini[4]. Mengenai membasuh telapak tangan, terdapat hadits yang senada dengannya. Hadits tersebut diriwyatkan oleh Ahmad dan Nasai berasal dari Aus bin Aus Ats-Tsaqafi r.a. menerangkan bahwa ia pernah melihat Nabi Muhammad SAW memulai wudhunya dengan membasuh telapak tangannya tiga kali.[5] Basuhan sebanyak tiga kali merupakan suatu kebiasaan dalam berwudhu.
ثمّ تمضمض و استنثر
“lalu berkumur dan memasukan air ke dalam hidungnya dan menghembuskannya keluar”
Berkumur-kumur ialah memasukan air ke dalam mulut dan mengocoknya lalu mengeluarkannya.[6] Sedangkan kata “istintsar” menurut jumhur ulama bahasa, ulama hadits dan fuqaha ialah mengeluarkan air dari hidung setelah menghirupnya.[7] Ibnu Qutaibah dan lainnya mengatakan bahwa istinsyaaq dan istinstsaar sama, sedangkan Al-Karmani berpendapat bahwa istinsyaaq ialah memasukan air ke dalam hidung, sedangkan istinstaar ialah mengeluarkannya dari hidung dan keduanya berbeda[8]. Dalam hadits ini tidak dijelaskan bahwa berkumur-kumur dan berintinsyak sebanyak tiga kali sebagaimana yang lainnya, namun dalam riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib dijelaskan bahwa dia bekumur-kumur, berintinsyak dan berintintsar dengan tangan kirinya sebanyak tiga kali dan berkata “Inilah cara bersucinya Nabiyullah”[9]. Dijelaskan bahawa As-Syafi’i menjelaskan di dalam Al-Umm bahwa madhmadhah dan intinsyak dikumpulkan, sedangkan di dalam Al-Buwaithi mengutamakan supaya di pisahkan.[10] Berkumur dengan menggabungkannya ialah dengan mengambil air sekali, sebagian digunakan untuk berkumur-kumur, dan sebagiannya lagi digunakan untuk intinsyak.[11] Sedangkan memisahkannya ialah dengan menciduk air untuk berkumur-kumur, lalu mengambila air yang lain untuk berintinsyak.[12]
ثمّ غسل وجهه ثلاث مرّات
“lalu beliau membasuh wajahnya tiga kali
Membasuh wajah merupakan fardu wudhu yang pertama kali di sebutkan di dalam Al-Qur’an.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki[13]
Wajah ialah bagian yang tampak saat saling berhadapan dengan batasannya di bagian atas yaitu dari bagian tumbuhnya rambut secara umum ke bawah hingga janggut, dari telinga ke samping hingga ke telinga yang lain.[14]
ثمّ غسل يده اليمنى
“lalu membasuh tangan kanannya”
Maksundnya ialah membasuh tangan kanannya sebanyak tiga kali. Tangan kanan didahulukan dengan tangan yang kiri, yang mana dalam teks hadits keduanya dipisahkan dengan kata ثم.[15]
الى المرفق ثلاث مرّات
“hingga siku-sikunya tiga kali”
Al-Mirfaq-Al-Marafiq ialah bagian siku, sambungan antara hasta dan lengan. Bentuk jamaknya ialah Maraafiq. Dinamakan mirfaq sebab ia digunakan untuk bersandar di atas siku saat duduk santai[16]. Kata ilaa menurut para ahli bahasa ialah menunjukan batas akhir tempat atau waktu dan kata setelahnya bisa masuk ke dalam bagian kata sebelummnya atau bahkan seluruhnya bisa masuk ke dalam bagian sebelumnya serta bisa juga tidak masuk sedikitpun bagian dari kata sebelumnya[17]. Hingga siku; ada yang memasukannya ke dalam anggota yang di basuh seperti An-Nawawi dan ada yang tidak memasukkannya ke dalam bagian yang dibasuh seperti Abu Bakar dan Daud.[18] Namun dijelaskan dari Nu’aim ibn Abdullah bahwa Abu Hurairah dalam wudhunya melebihkan basuhan dan  berkata yang demikian itu merupakan cara Rasulullah berwudhu.[19]
ثمّ اليسرى مثل ذلك
“lalu tangan kirinya seperti itu juga”
Maksudnya ialah membasuhnya sebanyak tiga kali juga dan hingga siku juga.
ثمّ مسح برأسه
“lalu beliau mengusap kepalanya”
Hal yang sering diperdebatkan ialah kadar dalam mengusap kepala. Posisi huruf ba’ (ب) di dalam Al-Qur’an, disini serta hadits yang lainnya yang senada terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa huruf ba’ di sini ialah berfungsi sebagai penguat bahwa Mash dilakukan untuk seluruh bagian kepala[20]. Sedangkan sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa huruf ba’ disini berfungsi sebagai tab’iidh sehinggga menunjukan basuhan bisa sebagian.[21]

ثمّ غسل رجله اليمنى
“lalu membasuh kaki kanannya”
Seperti halnya tangan, hal ini menunjukan kaki kanan didahulukan dengan kaki yang kiri.
الى الكعبين ثلاث مرّات
“hingga kedua mata kaki tiga kali
Ka’bain adalah bentuk tasniah dari kata ka’b, ia adalah mata kaki yaitu tulang yang menonjol di bagian pertemuan antara lutut dengan bagian kaki bawah. Hal ini didasarkan pada hadits An-Nu’man bin Basyir tentang tata cara sholat:
فرأيت الرّجل منّا يلزق كعبه بكعب صاحبه
Artinya: “Aku melihat seseorang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
ثمّ اليسرى مثل ذلك
“lalu kaki kirinya seperti itu juga”
Maksudnya ialah membasuh kaki kiri hingga mata kaki dan sebanyak tiga kali sebagaimana kaki kanan.
ثمّ قال: رايت رسول الله صلى الله عليه و ساّم توضّأ نحو وضوئى هذا
“kemudian beliau berkata: ‘Saya melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhuku ini’ ”
Selanjutnya setelah Utsman bin Affan selesai berwudhu, ia menjelaskan bahwa ia berwudhu sebagaimana ia melihat Rasulullah SAW berwudhu. An-Nawawi berkata “Di sini beliau tidak mengatakan مثل وضوئي هذا  (seperti wudhuku ini) karena hakikat persamaan yang sesungguhnya tidak dapat dilakukan oleh selainnya”. Ibnu Hajar mengomentari ucapan An-Nawawi dengan mengatakan bahwa lafaz seperti itu telah disebutkan dalam riwayat Mu’adz bin Abdurrahman dari Humran dari Utsman. Ia menambahkan bahwa sesungguhnya lafaz   ,نحو وضوئي هذا(sebagaimana wudhuku ini) bersumber dari sebagian perawi, karena kata نحو (sebagaimana) digunakan juga untuk mengungkapkan مثل (persamaan) meski hanya dalam bentuk majaz (kiasan). Dengan demikian kedua versi riwayat tersebut bisa diarahkan pada satu titik temu dan boleh meninggalkan salah satunya selama tidak mempengaruhi maksudnya[22].
ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم
“lalu Rasulullah SAW bersabda”
Utsman bin Affan stelah memberitahu bahwa wudhu yang dilakukannya itu sperti wudhu yang dilakukan Rasulullah, ia menyampaikan pesan Rasulullah setelah berwudhu.
من توضّأ نحو وضوئى هذا
“Barang siapa yang berwudhu sebagaimana wudhuku ini”
Pesan Rasulullah itu masih mengenai wudhu yang sesuai dengan yang dilakukannya dengan memberitahu bagi siapa saja yang berwudhu sebagaimana ia berwudhu, dan Utsman telah mencontohkan yang demikian itu sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits ini.
ثم قام فركع ركعتين
lalu berdiri melakukan sholat dua rakaat
Di dalam Fathul Baari, disebutkan hadits senada dengan redaksi kalimat ثم صلى ركعتين yang menunjukan bahwa sholat dua rakaat setelah berwudhu ialah disukai[23].

لا يحدّث فيهما  نفسه
“tanpa berbicara terhadap dirinya sendiri”
Maksudnya ialah bahwa dalam melakukan sholat dua rakaat untuk tidak melakukan perkara-perkara yang bisa menggangu pikiran dan mungkin untuk menghilangkannya[24]. Dikatakan juga bahwa maksud darinya ialah tidak menyibukan dirinya ketiak sholat dengan urusan dunia dan urusan yang tidak berkenaan dengan sholat pada saat berwudhu dan sholat[25]. Dari kata نفسه menunjukan agar kita dalam melakukan sholat tersebut hendaknya kita menjaga diri dari perbuatan kita sendiri untuk senantiasa selalu dalam keadaan khusyu’.
غفرله ما تقدّم من ذنبه
“diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lewat”
Secara lahiriyah, hal ini menunjukan pengampunan semua dosa yang kecil ataupun yang besar, namun para ulama mengkhususkannya dengan dosa-dosa yang kecil karena di dalam riwayat lain disebutkan pengecualian[26]. Hal ini bila mereka mempunyai dosa-dosa kecil dan besar, jika hanya memiliki dosa kecil maka diampuni, jika hanya mempunyai dosa besar maka diringankan baginya sebagaimana kadar dosa-dosa kecil yang diampuni[27].
Hadits ini menunjukan kita tentang pembelajaran dengan praktek dan lisan. Pembelajaran dengan praktek memberikan nilai tersendiri bagi orang yang memperaktekannya terlebih lagi dalam hal ibadah amaliyah seperti wudhu ini. Pembelajaran dengan lisan sebagaimana hadits ini, menunjukan bahwa dalam pembelajaran diperlukan motivasi untuk senantisa mengamalkan apa yang dipelajarinya melalui peraktek tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Abdul Qadir Syaibah Al-Hamd, Fiqhul Islam; Syarah Bulugul Maram, vol.1, terj. Oleh Izzudin Karimi, Jakarta: Darul Haq, 2005
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Marram, Vol 1. Terj. Oleh M. Faisal dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Sahih Bukhari, vol 2, terj. Oleh Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002
Al-Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Oleh Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001
Muhammad bin Isma’il Al-Khalaniy, Subulussalam, vol 1, terj. Oleh Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, tt.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, vol 1, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001



[1] Muhammad bin Isma’il Al-Khalaniy, Subulussalam, terj. Oleh Abubakar Muhammad, (Surabaya: Al-Ikhlas, tt.) hlm.101
[2] Al-Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Oleh Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001) hlm.171
[3] Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Sahih Bukhari, vol 2, terj. Oleh Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hlm.82
[4] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Marram, Vol 1. Terj. Oleh M. Faisal dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm.214
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, vol 1, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001) hlm.228
[6] Al-Khalaniy, Subulussalam…, h.101
[7] Ibid, h.102
[8] Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam..., h.214
[9] Abdul Qadir Syaibah Al-Hamd, Fiqhul Islam; Syarah Bulugul Maram, vol.1, terj. Oleh Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2005) hlm.45
[10] Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits…, h.237
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Al-Qur’an Al-Karim, surah Al-Maidah [5] ayat ke-6
[14] Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam..., h.214
[15] Al-Asqalani, Fathul Baari..., h.83
[16] Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam..., h.215
[17] Ibid, h.214
[18] Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits…, h.246
[19] Ibid.                                     
[20] Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam..., h.215
[21] Ibid.
[22] Al-Asqalani, Fathul Baari..., h.85
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Syaibah, Fiqhul Islam..., h.45
[26] Al-Asqalani, Fathul Baari..., h.86
[27] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar