MAKALAH
“TARIKH AL-TASYRI’ AL-ISLAMY”
“HUKUM ISLAM
PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDUN ATAU KIBAR AL-SHAHABAH”
ASHGOR KAMAL
152 111 004
Muamalah, II/A
Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri
Mataram
A.
SITUASI
SOSIAL MASYARAKAT MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Setelah Nabi wafat dan sebelum ditentukan pengganti Nabi sebagai
kepala negara, terdapat dua pendapat tentang otoritas
kepemimpinan umat Islam dan hal ini berhubungan langsung dengan otoritas
penetapan hukum.[1]
Kelompok pertama berpendapat bahwa “Ahl Bait” sebagai pemegang penetapan
hukum tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah Nabi wafat karena menurut
mereka AhlBaitterlepas dari dosa (maksum). Merka inilah yang
kelak disebut sebagai kelompok Syi’ah.[2]
Sedangkan kelompok kedua berpendapat Nabi tidak menentukan dan menunjuk
pengganti untuk menetapkan dan menafsirkan perintah-perintah Allah.[3]
Sejarah membuktikan bahwa kelompok kedualah yang menang akhirnya dengan
terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah.
Menurut Amer Ali seperti dikutip Djazuli bahwa
pada hakikatnya pertentangan yang terjadi merupakan “Permusuhan suku dan
permusuhan padang pasir yang dikobarkan oleh perselisihan dinasti” yang
sudah ada sejak Zaman Jahiliyah; pada masa Rasul dinetralisasi dengan konsep
dan pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah.[4]
Secara umum, masyarakat Islam pada masa Khulafa
Al-Rasyidun dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan waktu
pemerintahan masing-masing khalifah yang meliputi Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali yang memerintah beberapa saat. Pembagian
ini dilakukan agar perjalana hukum Islam khususnya pada masa Khulafa
Al-Rasyidun dapat diperinci lagi.
Pada masa Abu Bakar, masyarakat Islam masih
dirundung kesedihan setelah wafatnya Nabi. Selain itu banyak yang masih lemah
imannya ditambah lagi dengan pembangkangan yang dilakukan sebagian umat Islam
seperti pembangkangan orang-orang yang enggan membayar Zakat, Nabi-Nabi
Palsu, Murtadin dan sebagainya. Setelah Abu Bakar menyelesaikan urusan
dalam negri, barulah ia melakukan perluasan ke luar Araabia seperti ke Iraq dan
Syiria.[5]
Pada masa Umar bin Khattab, ekspansi dilakukan ke berbagai wilayah.
Pada masa ini wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina,
Syiria, sebagaian besar wilayah Persia, dan Mesir.[6] Dari
itu, maka dapat dipastikan bahwa keadaan masyaraka pada saat itu semakin
komplit dan banyak orang Non Arab (mawali) yang masuk Islam.
Selain itu juga, tata pemerintahan sudah mulai dibenahi seperti pembagian
wilayah propinsi, penertiban dan pengaturan pembayaran gaji dan pajak,
pemisahan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif, pembentukan jawatan
kepolisian, jawatan pekerjaan umum, Bait Al-Mal, mata uang dan
pembentukan tahun Hijriyah.[7]
Utsman memerintah menggantikan Umar yang wafat dibunuh. Pada masa
ini perluasan wilayah kembali dilakukan. Armenia, Tunisia, Cyprus, Rodes,
bagian yang tersisia dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut.[8]
Namun pada paruh terakhir masa
pemerintahannya, terjadi kekacauan disebabkan kekecewaan rakyat karena dalam
pemerintahannya, Utsman banyak mengangkat keluarganya menduduki tempat-tempat
yang penting terutama adalah Marwan bin Hakam yang pada dasarnya menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Selain itu dia
juga tidak tegaas terhadap bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri.[9]
Setelah wafatnya Utsman, tampuk kekuasaaan dipegang oleh Ali bin
Abi Thalib. Dalam
masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya pemberontakan
Talhah, Zubair dan Aisyah karena mereka menganggap Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Utsman. Setelah mematahkan pemberontakan Talhah, Zubair, dan Aisyah, Ali
kembali menghadapi pemberontakan Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah para
pejabat yang kehilangan kedudukan dan kejayaan mereka. Pemberontakan ini
berakhir dengan Tahkim (arbitrase )antara Ali dan Mu’awiyah. Tahkim ini
justru menambah perpecahan dalam Islam dengan kelompok Syi’ah yaitu
pendukung setia Ali, Mu’awiyah dan para pendukungnya yang lazim disebut sebagai kelompok Ahli Sunnah Wal
Jamaah dan Khawarij yaitu orang-orang yang tidak puas dengan Ali dan
Mu’awwiyah serta memusuhi keduanya.[10] Ketiga
kelompok politik inilah yang kemudian hari menjadi sekte-sekte dalam Islam dan
mempengaruhi serta mewarnai pendapat atau penetapan dalam hukumIslam.
Golongan Khawarij tidak mau menetapkan
hukum dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali, Mu’awwiyah, Utsman dan para
pengikut mereka, Syi’ah hanya menerima hadits yang diriwayatkan oleh Ahl
Bait, sedangkan kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah menerima hadits dari
orang-orang yang dapat dipercaya tanpa membedakan sahabat yang satu dengan yang
lainnya.[11]
Dengan tepecahnya umat Islam, maka maisng-masing kelompok ingin
mengangkat pemimpin masing-masing dan mengumumkannya sebagai khalifah yang sah.
Para pengikut Muawwiyah mengangkat Muawwiyah, Syi’ah mengangkat Hasan Bin Ali,
dan kelompok Khawarij menghendaki siapa saja asalkan mau berhukum dengan hukum Allah dan menolak pengajuan dari kelompok Muawwiyah dan Syi’ah karena mereka
menganggap kedua kelompok tersebut telah kafir.
B.
KEGIATAN
KEILMUAN PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Kegiatan keilmuan yang dilakukan pada masa ini ialah:
1. Pada masaa Abu Bakar terdapat pembentukan panitia khusus yang
bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis dizaman
Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma, tulang onta, dan
sebagainya yang selanjutnya dihimpun dalam satu naskah;[12]
2. Pada masa Umar Bin Khattab ditetapkan tahun Hijriyah sebagai tahun Islam
berdasarkan peredaran bulan. Penetapan ini dilakukan pada tahun 638 M;[13]
3. Pada masa ini diadakan musyawarah untuk
menentukan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang
dilakukan oleh para sahabat yang lazim disebut Ijma Sahabat;
5. Pada masa Utsman Bin Affan dibuat Al-Qur’an
standar dengan membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid Bin Tsabit
untuk menyalin kembali naskah-naskah Al-Qur’an ke dalam lima mushaf, kemudian
dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo,Damaskus, dan Bagdad).[15]Al-Qur’an ini selanjutnya dinamakan MushafUtsmany.
Tindakan Utsman tersebut, disebut-sebut sebagai peletakan batu pertama bagi
ilmu yang kemudian hari disebut dengan “Ilmu Rasmil Qur’an” atau
“Ilmu Rasmil Utsmani”;[16]
6.
Penyeleksian
yang ketat terhadap periwayatan sunnah oleh para sahabat[17] sehingga menjadi benih munculnya Ilmu
Musthalah Hadits;[18]
7.
Dengan perintah dari khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Abul
Aswad Ad-Dauly (w.69 H) telah membuat beberapa kaidah untuk memelihara
keselamatan Bahasa Arab sehingga khalifah ‘Ali dianggap sebagai peletak batu
pertama bagi “Ilmu I’rabul Qur’an”;[19]
8.
Dan lain-lain.
C.
SUMBER
HUKUM ISLAM MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Diantara sumber-sumber rujukan yang digunakan para tokoh dan ulama
masa ini ialah Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qias.[20] Namun
ada pula yang tidak memasukan Qias di dalamnya.[21]
Jalan penggalian hukum dengan sumber rujukan pada masa ini tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi
dari Maimun bin Mahran sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi yang
artinya:
“Abu Bakar apabila diadukan kepadanya
perselisihan ia melihat pada Kitabullah, bila ditemukan hukum yang dapat
memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hukum tersebut. Akan tetapi bila
tidak mendapatkan
dalam kitabullah dan mengetahui Sunnah Rasulullah tentang hal itu, ia
memutuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak ditemukan juga (dalam sunnah) ia
bertanya kepada sahabat; apakah diantara kalian ada yang tau Rasulullah menetapkan
hukum dalam masalah ini?. Terkadang beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah
memutuskan perkara seperti itu dan terkadang tidak. Bila tidak memperoleh, ia
mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk bermusyawarah, bila diperoleh
kesepakatan hukumnya, ia memutuskan dengan hasil kesepakatan tersebut”[22]
Dari hadits diatas dapat disimpulkan
langkah-langkah Abu Bakar dalam mengistimbatkan hukum ialah:[23]
1. Mencari ketentuan hukum di dalam Al-Qur’an.
Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an;
2. Apabila tidak menemukan dalam Al-Qur’an, ia
mencari ketentuan hukum dalam Sunnah;
3. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah, ia
bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah pernah memutuskan perkara yang
sama pada zamannya;
4. Jika tidak ada sahabat yang memberikan
keterangan, ia bermusyawarah dengan para pembesar sahabat.
Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama,
bila ia dihadapkan suatu masalah, ia melihat Kitabullah dan Sunnah. Jika ia tidak menemukannya
ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan perkara seperti itu, jika ia
mendapati Abu Bakar pernah memutuskan perkara tersebut, maka ia memutuskan
dengan keputusan Abu Bakar tersebut.[24]
Namun secara operasional tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum.[25]
Diantara contoh perbedaan operasionalnya ialah
dalam konsep musyawarah. Dilihat dari cara Khalifah Abu bakar dalam
bermusyawarah langsung secara umum. Khalifah Umar bin Kahttab mempunyai dua
cara bermusyawarah yaitu “Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah
yang bersifat umum.”[26]
Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan
Anshor, yang membahas masalah kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Masjid, yaitu apabila ada masalah yang sangan penting seperti
kasus tanah Irak yang dijadikan tanah Khardj.[27]
Berikut penjelasan singkat tentang
sumber-sumber hukum Islam masa Khulafa Al-Rasyidun:
1. AL-QUR’AN
Al-Qur’an sebagai rujukan pertama para sahabat
atau ulama masa ini mendapat perhatian yang begitu penting. Setelah banyak para penghafal Al-Qur’an yang
wafat dalam peperangan, khalifah Umar Bin Khattab berpendapat bahwa sangat
mengkhawatirkan jika orang-orang yang menghafal Al-Qur’an makin hari makin
sedikit jumlahnya. Sehingga Umarpun bermufakat dengan Abu Bakar dan sahabat
lainnya untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an.[28]
Penggunaan Al-Qur’an sebagai rujukan pertama sesuai dengan pesan
yang tertera dalam Al-Qur’an itu sendiri. Allah berfirman:
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”[29]
Dari ayat diatas, jelas sekali perintah untuk menjadikan Al-Qur’an
sebagai pedoman dalam menentukan kebenaran atau kesalahan diantara manusia.
Selain itu, banyak dari para sahabat yang mengetahui, menyaksikan bahkan
menjadi sebab diturunkannya suatu ayat atau surah dari Al-Qur’an sehingga
mereka lebih mengetahui maksud dan penerapan dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada masa khalifah Utsman Bin Affan, mushaf
Al-Qur’an disalin oleh Zaid Bin Tsabit, Sa’ad Bin Ash, Abdurrahman Bin Harits,
dan Abdullah Bin Zubair[30] yang selanjutnya dikirim ke berbagai kota.
Diantara pokok-pokok isi Al-Qur’an ialah Rukun
Iman (percaya kepada Allah, Rasul-Rasul, Malaikat, Kitab-Kitab Allah, Hari
Kiamat, dan percaya pada Qada dan Qadar) yaitu hal-hal yang tetap
berlaku dan telah menjadi aturan tertentu. Rukun Islam (Syahadat,
Salat, Puasa, Zakat dan Fitrah, Serta Haji dan Umrah). Munakahat
(Perkawinan), Muamalah (hukum pergaulan dalam masyarakat atau HukumPrivat),
Jinayah (HukumPidana), Aqdiyat (hukum mengenai mendirikan
pengadilan), Khalifah (Pemerintahan), Ath’imah (Makanan dan Minuman),
dan Jihad (Peperangan).[31]
2. AS-SUNNAH
Sunnah atau Hadits Rasulullah SAW. Dalam fiqih ialah himpunan ucapan, perbuatan,
dan hal-hal yang didiamkan Nabi yang bisa dibagi kedalam tiga macam yaitu
perkataan (qaul), perbuatan (fiil), dan hal-hal yang didiamkan (taqrir
atau sukut).[32] Dasar hukum
menjadikan Hadits sebagai sumber hukum ialah surah Al-Hasyr ayat 7:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.”[33]
Kedudukan Hadits dalam sumber hukum Islam menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Adapun fungsi
hadits terhadap Al-Qur’an ialah memberikan perincian terhadap hukum-hukum dalam
Al-Qur’an yang masih Mujmal dan penetapan hukum yang belum diatur dalam
Al-Qur’an secara jelas.[34]
Pada masa ini, hadits belum dibukukan sebagaimana Al-Quran
dikarenakan kehawatiran akan tercampurkannya dengan Al-Qur’an. Hadits baru
dibukukan pada masa kalifah Umar Bin Abdul Aziz.[35]
Namun bukan berarti hadits dikesampingkan. Pada masa ini hadits
begitu diperhatikan, terutama masalah penyampaiannya (periwayatan hadits). Dikabarkan
bahwa pada masa ini terdapat fenomena baru terhadap hadits yang berupa sikap
para sahabat dalam penyeleksian yang ketat terhadap periwayatan Sunnah.[36]
Menurut Mun’im, terdapat dua alasan mengapa para sahabat bertindak
demikian, yaitu adanya kekhawatiran akan kesalahan dan penyelewengan karena
lupa misalnya atau karena kesalahan dalam menyampaikan riwayat, dan adanya
kekhawatiran akan masuknya berita bohong ke dalam hadits oleh orang-orang yang
memang sengaja ingin merusak Islam dari dalam.[37]
Maka kita dapat mengetahui bahwa pada masa ini, mulai muncul benih-benih
dari Ilmu Musthalah Hadits.[38]
3. IJTIHAD
Ijtihad secara Etimologi berasal dari kata “Al-jahd” yang berarti “Al-Masyaqat” (kesulitan atau
kesukaran) dan “At-Thaqat” (kesanggupan atau kemampuan).[39] Ijtihad adalah masdar
dari fiil madzi “ijtahada”, penambahan huruf hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da
menjadi ijtahada berarti usaha itu lebih sungguh –sungguh[40].
Sedangkan secara Terminologi ialah “Mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh
hukum syara’ dari dalil-dalilnya”.[41]
Diantara pola ijtihad para sahabat pada
periode ini ialah dengan membahas bersama permasalahan yang belum ditemukan hukum-hukumnya atau lazim disebut dengan Ijmak
Sahabat. Pada mulanya ijtihad yang dilakukan pada masa ini ialah ijtihad
secara berkelompok (kolektif) namun karena para shabat banyak yang
pindah ke daerah yang baru ditaklukan dan sulit untuk mengumpulkan mereka, maka
ijtihad pun dilakukan secara Individual.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam. Ijmak secara kebahasaan berarti mengumpulkan, sedangkan menurut istilah ialah kesatuan
pendapat dari ahli-ahli hukum dalam satu maalah dan wilayah tertentu.[42] Sedangkan yang lain mengatakan sebagai suatu
kebulatan pendapat para Mujtahidin dan ummat di suatu masa sesudah
berakhir zaman risalah terhadap suatu hukum Syara’.[43]
Hal-hal yang menyebabkan para sahabat untuk
melakukan ijtihad ialah makin kompleksnya masalah yang muncul akibat dari
meluasnya kekuasaan Islam sehingga terjadilah persinggungan antara Islam dengan
kebudayaan diluar Jazirah Arab yang lebih maju[44]
serta menuntut suatu pemecahan dalam hal hukumnya seperti kasus Usyuur
(bea masuk barang-barang impor), tanah-tanah yang luas yang dikuasai dijadikan
tanah Khardj, kasus Mu’allaf di zaman Umar bin Khattab dan
lainnya.[45]
D.
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa pada periode
ini merupakan periode terpenting dalam pembentukan hukum. Dalam periode yang
menghabiskan waktu kira-kira tiga puluh tahun ini paling tidak ada dua hal yang
paling penting yaitu; Adaptasi sunnah terhadap teradisi arab dan Pembukuan Al-Qur’an
pada masa Utsman.[46]
Sedangkan menurut Atiah Musyrifah bahwa ada tiga keistimewaan yang menonjol
pada masa Khulafa Al-Rasyidun ini, yaitu kodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan
penyebarannya, prtumbuhan Tasyri’ berdasar ra’yu dan ijma,
serta pengaturan pengadilan.[47]
Dilihat dari uraian pendapat para ahli diatas
maka dapat dikatakan hukum Islam pada masa ini secara operasional sangat hidup dan semarak.[48] Hal ini tidak terlepas dari peran-peran para
tokoh di masa ini.
Tokoh sahabat yang berperan dan aktif dalam
berfatwa jumlahnya mencapai sekitar 130 orang yang terdiri atas laki-laki dan
perempuan.[49]
Selain itu, terbatasnya literatur membuat sulitnya melihat Transformasi atau perubahan fatwa sahabat dari waktu ke
waktu.[50]
Maka pada makalah ini kami hanya menyebutkan segelintir dari mereka. Diantara
para tokoh yang berperan atau berpengaruh dimasa ini ialah:
Abu Bakar ialah khalifah pertama, hasil
pemilihan di Tsaqifah Bani Sa’dah. Diantara ijtihadnya ialah berkenaan
dengan harta peninggalan Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa
ahli waris mewarisi harta pusaka muwaris jika meninggalkan harta. Sebagaimana
firman Allah:
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”[51]
Ketika Nabi Muhammad wafat, ahli warisnya
ialah Fatimah, namun karena Nabi pernah bersabda:
نَحْنُ مَعَاشَرَ الْاَنْبِيَاءِ لَا نُوْرِثُ مَا
تَرَكَنَاهُ صَدَقَةٌ
Artinya: “kami adalah sekalian para Nabi
tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah”
Abu Bakar berijtihad bahwa hadits tersebut men-takhshish
surah An-Nisa ayat ke-11 sehingga Fatimah tidak mendapat warisan karena harta
peninggalan Nabi adalah shadaqah.[52]
Contoh lain ialah dalam memghadapi kelompok yang enggan membayar
zakat. Menurut mereka zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rassulullah
masih hidup.[53]
Mereka mendasarkan pendapat mereka dengan salah satu ayat Al-Qur’an yaitu Surah
At-Taubah (9): 103:
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka.
Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”[54]
Mereka beralasan bahwa bentuk “Amr” (printah) pada ayat
ini ditujukan hanya kepada kepada Nabi
Muhammad, sehingga kewajiban zakat dengan sendirinya terhenti dengan wafatnya
beliau dan do’a yang dimaksud pada ayat tersebut ialah do’a Rasulullah, bukan
selain beliau.[55]
Melihat keadaan ini, Abu Bakar mengambil sikap tegas terhadap
mereka dengan menasehati terlebih dahulu dan setelah itu mereka tidak mau, ia memerangi
mereka karena tafsir yang mereka kemukakan keliru dan dapat mempreteli
sendi-sendi pokok ajaran Islam serta dapat membahayakan keutuhan ummat.[56]
Dilihat dari tindakannya tersebut, Abu Bakar
sangat tegas dalam menegakan hukum, tidak pandang bulu.
Umar Bin Khattab ialah khalifah kedua. Umar
dikenal sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima
hadits.[57] Dintara ijtihad yang dilakukan Umar bin
Khattab ialah masalah shalat Tarawih atau Qiyam Al-Ramadlan yang
pada zaman Nabi dilakukan di masjid secara individual (munfarid).
Kemudian umar mengumpulkan mereka dan umat Islam yang ada di masjid
diperintahkan untuk salat tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam.
Menurutnya shalat tarawih berjamaah ialah mandub.[58]
Dalam menetapkan hukum, Umar sangat tegas,
namun tidak terlalu terpaku kepada nash-nash yang ada seperti dalam kasus pencurian
di masa sulit. Selain itu, pendapatnya juga lebih menjurus kepada Maqashid Al-Tasyri’ التَّشْرِيْع) (مَقَاصِدُ atau tujuan hukum. Selain itu, Umar lebih mengedepankan makna batin
daripada makna lahir, lebih mengedepankan moral hukum dari pada logika formal
dalam menangkap isyarat-isyarat tertentu dan makna-makna Al-Qur’an. Lantaran
ide-ide kreatifnya itu, Umar diakui baik oleh kalangan sarjana Muslim maupun
oleh kalangan sarjana Non muslim sebagai orang kedua setelah Nabi
Muhammad yang paling menentukan dalam sejarah hukum Islam.[59]
Salah satu contoh ide kretifnya ialah masalah bea masul impor. Dalam
menjawab surat Abu Musa, yang menanyakan perihal berapa biaya bea masul impor
yang harus dikenakan kepada non muslim, Umar menjawab:
خَذْ أَنْتَ مِنْهُمْ كَمَا يَأْخُذُوْنَهُ مِنْ تِجَارِ
الْمُسْلِمِيْن
Artinya: “Ambillah olehmu (bea impor)
sebagaimana mereka mengambil (bea impor) untuk pedagang muslim”
Dalam hal ini, pengambilan bea impor ialah
sebesar 10%, karena mereka juga mengambil bea impor pedagang muslim ialah 10%.[60]
Khalifah ketiga ialah Utsman Bin Affan. Diantara ijtihadnya ialah
bahwa istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit kemudian suaminya meninggal
karena sakitnya itu, maka istri mendapatkan harta pusaka baik dalam keadaan
tunggu maupun tidak.[61]
Khalifah Utsman dalam menentukan hukum lebih
lunak daripada yang lainnya. Hal ini juga terlihat dari kebijakannya yang
membagikan tanah kepada para gubernur.
Khalifah terakir ialah Ali Bin Abi Thalib. Diantara
ijtihadnya ialah mengenai hukuman bagi peminum “Khamar”. Didalam
Al-Qur’an keharaman khamar ditetapkan berangsur-angsur, namun tidak
dijelaskan sanksi bagi yang melanggar keharaman tersebut. Ali berpendapat bahwa sanksi bagi peminum kahmar
adalah 80 kali pukulan karena pelanggaran atau tindakan meminum khamar diqiyaskan pada penuduh zina (qadzaf). Ali
berkata:
اِنَّهُ
اِذَاشَرِبَ هَذَى وَاِذَ هَذَى اِفْتَرَى وَعَلَى الْمُفْتَرِيْ ثَمَانُوْنَ
جَلْدَةً
Artinya: “Apabila minum khamar, orang akan
mabuk. Orang mabuk akan menuduh dan sanksi bagi penuduh adalah delapan puluh
kali cambukan”[62]
Dalam menetapkan hukum, Ali bin Abi Thalib
tegas serta mencoba mengembalikan keadaan di masa Umar. Hal ini terlihat juga
dari kebijakannya setelah menjadi khalifah dengan memecat serta mengambil
kembali tanah yang pernah dibagikan Utsman kepada para gubernur. Maka dari
itulah Ali banyak mendapatkan perlawanan dari para mantan gubernur terutama
dari Muawiyah Bin Abi Sofyan.
Meskipun pada masa kepemimpinannya dihadapkan
kepada situasi polotik yangpanas dan rawan, bukan berarti ia tidak membuat
suatu kebijakan, diantara kebijakan-kebijakan yang sempat dicetuskannya ialah
dalam hal urusan korespndensi, pajak, angkatan bersenjata dan dalam hal
urusan administrasi peradilan.[63]
Sahabat lain yang melakukan ijtihad pada
masaini ialah Abdullah Ibnu Mas’ud. Diantara ijtihad beliau adalah mengenai waktu
tunggu wanita yang hamil ditinggal mati suaminya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam
surah Al-Baqarah (2): 234 bahwa istri yang ditinggal mati suaminya menunggu
empat bulan sepuluh hari.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya: “Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”[64]
Sedangkan dalam surah yang lain dijelaskan:
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya: “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya”[65]
Dalam hal ini Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa
surat Al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dan surat At-Thalaq ayat 4 turun
kemudian sehingga ayat yang turun kemudian membatasi (takhshish)
keumuman makna ayat yang turun terdahulu sehingga dalam kasus ini Ibnu Mas’ud
berpendapat bahwa isti harus menunggu dengan waktu tunggu hamil.[66]
Selain Ibnu Mas’ud, ada juga sahabat lainnya
yang berijtihad seperti dalam kasus kata “Quru’” dalam surah Al-Baqarah
(2): 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Dalam hal ini, Al-Khalifa Al-Rasyidun, Abu
Musa Al-Asy’ary dan ‘Ubadah bin Shamit berpendapat bahwa arti dari kata Quru’
pada ayat tersebut ialah “Al-Haidl” sehingga mereka mengatakan waktu
tunggu istri yang ditalak ialah tiga kali haid. Sedangkan ‘Aisyah dan Zaid bin
Tsabit berpendapat bahwa arti kata Quru’pada ayat tersebut ialah “At-Thuhr”
sehingga mereka mengatakan waktu tunggu istri yang ditalak ialah tiga kali
suci.[68]
Jika kita perhatikan, banyak para sahabat yang
berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum. Perbedaan pendapat diantara
mereka bukanlah tanpa alasan. Penyebab ikhtilaf pada zaman ini dapat dibedakan
menjadi beberapa sebab, yaitu:
1. Karena sifat Al-Qur’an, seperti terdapatnya
kata atau lafaz yang bermakna ganda (Isytirak), hukum dalam Al-Qur’an
berdiri sendiri tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam
satu kasus.[69]
2. Karena persoalan Sunnah seperti tidak
semua sahabat memiliki pengetahuan tentang Sunnah yang sama, terkadang
suatu riwayat telah sampai kepada seorang sahabat dan terkadang belum sampai
kepada sahabat yang lainnya, dan perbedaan pendapat dalam memandang dan Menakwilkan
Sunnah.[70]
3. Perbedaan dalam menggunakan Ra’yu[71]
seperti perbedaan sudut pandang dalam memandang suatu masalah.
4. Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap
berbeda-beda. Demikian juga kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar
pertimbangan dalam menetapkan hukum berbeda-beda dan bertingkat tingkat juga.[72]
Pada dasarnya khittah yang mereka
tempuh mengenai prinsip-prinsip tasyri’ secara global yang mereka
gunakan dalam proses penetapan hukum adalah penetapan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan saja dengan mempertimbangkan kemaslahatan serta menjaga kemudahan
dan keringanan.[73]
E.
PENGARUH
DAN PRODUK YANG DIHASILKAN
Diantara pengaruh dan produk yang dihasilkan dalam masa Khulafa Al-
Rasyidun ini ialah:
1.
Penjelasan-penjelasan
(Intrepretasi) terhadap nash Al-Qur’an oleh para sahabat. Pendapat
mereka yang dipergunakan dalam memahami nash menjadi syarah penjelasan
dalam nash hukum.[74]
2. Sekumpulan fatwa-fatwa hasil ijtihad sahabat dalam masalah yang
tidak ada nashnya.[75]
Selanjutnya menjadi bahan rujukan dan pertimbangan dalam penetapan hukum
dikemudian hari.
3. Penghimpunan Al-Qur’an dalam satu naskah pada
zaman Abu Bakar yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyalinan Al-Qur’an
setandar yang disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman dan dikirim
keberbagai kota.
5. Pola pikir Umar yang menjadi cikal bakal para
mujtahid terkemudian.[77]
Maksudnya karakteristik pemikiran Umar bin Khattab banyak ditiru oleh Mujtahid di kemudian hari.
6. Utsman Bin Affan membuat Al-Qur’an standar
dengan membentuk panitia yang menyalin kembali naskah-naskah Al-Qur’an
yang selanjutnya dinamakan MushafUtsmany.
Tindakan Utsman tersebut, disebut-sebut sebagai peletakan batu pertama bagi
ilmu yang kemudian hari disebut dengan “Ilmu Rasmil Qur’an” atau
“Ilmu Rasmil Utsmani.”[78]
7. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul
Aswad Ad-Dauly (w.69 H) untuk membuat beberapa kaidah untuk memelihara
keselamatan Bahasa Arab sehingga khalifah ‘Ali dianggap sebagai peletak batu
pertama bagi “Ilmu I’rabul Qur’an.”[79]
8. Tidak ditulisnya Hadits menyebabkan
ulama-ulama selanjutnya melakukan penelitian sehingga memunculkan Ilmu
Musthalah Hadits.[80]
9. Penentuan pokok-pokok pikiran mengenai
peradilan yang dilakukan pada masa Umar sebagaimana isi surat yang diberikan
kepada Abu Musa Al-Asy’ary yang isinya
kewajiban seorang hakim, keputusan hakim harus seadil-adilnya, hakim
harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, serta adanya yurispundensi
sebagai sumberhukum yang harus dipakai dalam kasus-kasus tertentu.[81]
10. Lahirnya tiga golongan besar dalam Islam
berkaitan dengan persoalan khilafah dan khalifah yang kemudian
hari sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum dalam Islam.[82]
11. Terlahirnya corak pemilihan khalifah dalam Islam
yang disepakati oleh sebagian besar ulama yaitu berdasarkan “pemilihan suatu
musyawarah terbuka” seperti kasusu pengngkatan Abu Bakar, “penunjukan
kepala negara pendahulu” seperti dalam hal penunjukan Umar oleh Abu Bakar, “pemilihan
dalam suatu dewan formatur” seperti proses kekhalifahan Utsman, dan
berdasarkan “pemilihan melalui musyawarah
dalam pertemuan terbuka” atau “pembai’atan (pilihan) mayoritas
ummat” sebagaimana Ali.[83]
Namun dalam hal ini, berdasarkan fakta sejarah terus berkembang sesuai dengan
situasi dan kondisi suatu daerah atau negara baik politik atau budayanya.
12. Penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada
Muawiyah telah membuka babak baru dalam peradaban Islam dengan lahirnya DinastiUmayyah.
F. KESIMPULAN
Dilihat dari uraian diatas, pemakalah menyimpulkan bahwa:
1. Masyarakat pada masa ini mengalami tiga
periode yaitu periode kesedihan dan guncangan iman karena wafatnya Nabi,
peroide kebangkitan dan kejayaan, dan periode kemunduran dan fitnah.
2. Kegiatan keilmuan pada yang sangat penting
masa ini ialah pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an. Sedangkan yang menyangkut
hukum sebagian besar masih berupa opersional hukum Islam.
3. Sumber hukum Islam pada masa ini berupa
Al-Qur’an, Sunnah serta Ijtihad yang berupa penrombakan hukum dan pencarian
hukum yant tidak dijelaskan dalm Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Munculnya berbagai benih-benih disiplin ilmu
keislaman seperti Ilmu Musthalah Hadits, Ilmu Rasmil Qur’an atau Ilmu
Rasmil Utsmani dan Ilmu I’rabul Qur’an.
5. Secara operasional, mulai muncul berbagai
perombakan dalam bidang Fiqih.
6. Dalam menetapkan hukum para sahabat sering
terjadi ikhtilaf, namun pada dasarnya pendapat mereka didasari argumentasi atas
apa yang difatwakannya serta menjurus kepada kemaslahatan umat dan tujuan
hukum.
7. Timbulnya tiga golongan besar dalam Islam yang
sangat berpengaruh dalam penetapan dan pembentukan hukum Islam dikemudian hari.
8. Pengaruh dan sumbangsih yang besar kepada
generasi selanjutnya yang pemakalah anggap penting ialah pengumpulan dan
kodifikasi Al-Qur’an, fatwa-fatwa sahabat yang menjadi rujukan ulama kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
AL-QUR’AN AL-KARIM, Program
Al-Qur’an Digital oleh Abu Adillah Muhammad Sulaiman Farisy, Version 1,1.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakata: PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta: Kencana, 2005
___________, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam
Rambu-Rambu Syari’ah (Edisi Revisi), Bogor: Kencana, 2003
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003.
Khairil Umam dan H. A Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001
Mohd. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum
Islam; Sejarah Timbul
dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar,
Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung : CV Pustaka
Setia, 2007
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001
T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993
____________________, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967
[1]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm.69
[4]H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2005, cet ke-5) hlm.145
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakata: PT Raja
Grafindo Persada, 2000) hlm.36
[11]Djazuli, Ilmu Fiqh...149
[12]Mohd. Idris
Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
hlm.123.
[16]T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) hlm.2
[17] Mun’im A.
Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti,
1996) hlm. 37
[18]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[19]Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu...,2
[21]T.M. Hasbi
Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967)
hlm.44
[22]Supriyadi, Sejarah Hukum...,71
[23]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003) hlm.38.
[26]Djazuli, Ilmu Fiqh...,147
[28]Ramulyo, Asas-Asas…,47
[29] Al-Qur’an
Al-Karim, Surah An-Nisa’ (4) Ayat ke-185
[30]Ramulyo, Asas-Asas…,47
[35]Ramulyo, Asas-Asas…,51
[38]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[39] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2007) hlm.97
[41] Khairil Umam dan H. A Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) hlm.131
[42]Ramulyo, Asas-Asas…,54
[44]Djazuli, Ilmu Fiqh...,147
[46] Supriyadi, Sejarah Hukum...,67
[49]Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 46
[50]Mubarok, Sejarahdan...,44
[51]Q.S.Surah An-Nisa (4): 11
[52]Mubarok, Sejarah dan...,44-45
[53] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam
Rambu-Rambu Syari’ah (Edisi Revisi), (Bogor: Kencana, 2003) hlm.28
[54] QS
At-Taubah (9): 103
[56] Ibid.
[59]Supriyadi, Sejarah Hukum...,79
[60] Djazuli, Fiqih Siyasah…,29
[63] Djazuli, Fiqih Siyasah…,33
[64]Q.S. Al-Baqarah (2): 234
[65]Q.S At-Thalaq (65): 4
[66]Mubarok, Sejarah dan...,50
[67]Q.S. Al-Baqarah (2): 228
[68]Mubarok, Sejarah dan...,50
[69]Supriyadi, Sejarah Hukum...,75
[74]Ashshiddieqy, Pengantar…,50
[78]T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) hlm.2
[79]Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu...,2
[80]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[81]Ramulyo, Asas-Asas…,124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar