MOTTO

"JANGAN PERNAH BERHENTI UNTUK BERUSAHA DAN MENCOBA, DAN JANGAN PERNAH JUGA MENCOBA BERHENTI UNTUK BERUSAHA"

Senin, 22 Desember 2014

HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDUN (KIBAR AL-SHAHABAH)

MAKALAH
TARIKH AL-TASYRI’ AL-ISLAMY

HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDUN ATAU KIBAR AL-SHAHABAH
ASHGOR KAMAL
152 111 004
Muamalah, II/A
Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri
Mataram

A.    SITUASI SOSIAL MASYARAKAT MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Setelah Nabi wafat dan sebelum ditentukan pengganti Nabi sebagai kepala negara, terdapat dua pendapat tentang otoritas kepemimpinan umat Islam dan hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum.[1] Kelompok pertama berpendapat bahwa “Ahl Bait” sebagai pemegang penetapan hukum tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah Nabi wafat karena menurut mereka AhlBaitterlepas dari dosa (maksum). Merka inilah yang kelak disebut sebagai kelompok Syi’ah.[2] Sedangkan kelompok kedua berpendapat Nabi tidak menentukan dan menunjuk pengganti untuk menetapkan dan menafsirkan perintah-perintah Allah.[3] Sejarah membuktikan bahwa kelompok kedualah yang menang akhirnya dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah.
Menurut Amer Ali seperti dikutip Djazuli bahwa pada hakikatnya pertentangan yang terjadi merupakan “Permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang dikobarkan oleh perselisihan dinasti” yang sudah ada sejak Zaman Jahiliyah; pada masa Rasul dinetralisasi dengan konsep dan pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah.[4]
Secara umum, masyarakat Islam pada masa Khulafa Al-Rasyidun dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan waktu pemerintahan masing-masing khalifah yang meliputi Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali yang memerintah beberapa saat. Pembagian ini dilakukan agar perjalana hukum Islam khususnya pada masa Khulafa Al-Rasyidun dapat diperinci lagi.
Pada masa Abu Bakar, masyarakat Islam masih dirundung kesedihan setelah wafatnya Nabi. Selain itu banyak yang masih lemah imannya ditambah lagi dengan pembangkangan yang dilakukan sebagian umat Islam seperti pembangkangan orang-orang yang enggan membayar Zakat, Nabi-Nabi Palsu, Murtadin dan sebagainya. Setelah Abu Bakar menyelesaikan urusan dalam negri, barulah ia melakukan perluasan ke luar Araabia seperti ke Iraq dan Syiria.[5]
Pada masa Umar bin Khattab, ekspansi dilakukan ke berbagai wilayah. Pada masa ini wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagaian besar wilayah Persia, dan Mesir.[6] Dari itu, maka dapat dipastikan bahwa keadaan masyaraka pada saat itu semakin komplit dan banyak orang Non Arab (mawali) yang masuk Islam. Selain itu juga, tata pemerintahan sudah mulai dibenahi seperti pembagian wilayah propinsi, penertiban dan pengaturan pembayaran gaji dan pajak, pemisahan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif, pembentukan jawatan kepolisian, jawatan pekerjaan umum, Bait Al-Mal, mata uang dan pembentukan tahun Hijriyah.[7]
Utsman memerintah menggantikan Umar yang wafat dibunuh. Pada masa ini perluasan wilayah kembali dilakukan. Armenia, Tunisia, Cyprus, Rodes, bagian yang tersisia dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut.[8] Namun pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi kekacauan disebabkan kekecewaan rakyat karena dalam pemerintahannya, Utsman banyak mengangkat keluarganya menduduki tempat-tempat yang penting terutama adalah Marwan bin Hakam yang pada dasarnya menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Selain itu dia juga tidak tegaas terhadap bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri.[9]
Setelah wafatnya Utsman, tampuk kekuasaaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya pemberontakan Talhah, Zubair dan Aisyah karena mereka menganggap Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman. Setelah mematahkan pemberontakan Talhah, Zubair, dan Aisyah, Ali kembali menghadapi pemberontakan Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah para pejabat yang kehilangan kedudukan dan kejayaan mereka. Pemberontakan ini berakhir dengan Tahkim (arbitrase )antara Ali dan Mu’awiyah. Tahkim ini justru menambah perpecahan dalam Islam dengan kelompok Syi’ah yaitu pendukung setia Ali, Mu’awiyah dan para pendukungnya yang lazim disebut sebagai kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah dan Khawarij yaitu orang-orang yang tidak puas dengan Ali dan Mu’awwiyah serta memusuhi keduanya.[10] Ketiga kelompok politik inilah yang kemudian hari menjadi sekte-sekte dalam Islam dan mempengaruhi serta mewarnai pendapat atau penetapan dalam hukumIslam.
Golongan Khawarij tidak mau menetapkan hukum dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali, Mu’awwiyah, Utsman dan para pengikut mereka, Syi’ah hanya menerima hadits yang diriwayatkan oleh Ahl Bait, sedangkan kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah menerima hadits dari orang-orang yang dapat dipercaya tanpa membedakan sahabat yang satu dengan yang lainnya.[11]
Dengan tepecahnya umat Islam, maka maisng-masing kelompok ingin mengangkat pemimpin masing-masing dan mengumumkannya sebagai khalifah yang sah. Para pengikut Muawwiyah mengangkat Muawwiyah, Syi’ah mengangkat Hasan Bin Ali, dan kelompok Khawarij menghendaki siapa saja asalkan mau berhukum dengan hukum Allah dan menolak pengajuan dari kelompok Muawwiyah dan Syi’ah karena mereka menganggap kedua kelompok tersebut telah kafir.
B.     KEGIATAN KEILMUAN PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Kegiatan keilmuan yang dilakukan pada masa ini ialah:
1.      Pada masaa Abu Bakar terdapat pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis dizaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma, tulang onta, dan sebagainya yang selanjutnya dihimpun dalam satu naskah;[12]
2.      Pada masa Umar Bin Khattab ditetapkan tahun Hijriyah sebagai tahun Islam berdasarkan peredaran bulan. Penetapan ini dilakukan pada tahun 638 M;[13]
3.      Pada masa ini diadakan musyawarah untuk menentukan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dilakukan oleh para sahabat yang lazim disebut Ijma Sahabat;
4.      Secara operasional, muncul beberapa corak dalam pemilihan atau penentuan khalifah;[14]
5.      Pada masa Utsman Bin Affan dibuat Al-Qur’an standar dengan membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid Bin Tsabit untuk menyalin kembali naskah-naskah Al-Qur’an ke dalam lima mushaf, kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo,Damaskus, dan Bagdad).[15]Al-Qur’an ini selanjutnya dinamakan MushafUtsmany. Tindakan Utsman tersebut, disebut-sebut sebagai peletakan batu pertama bagi ilmu yang kemudian hari disebut dengan “Ilmu Rasmil Qur’an” atau “Ilmu Rasmil Utsmani”;[16]
6.      Penyeleksian yang ketat terhadap periwayatan sunnah oleh para sahabat[17] sehingga menjadi benih munculnya Ilmu Musthalah Hadits;[18]
7.      Dengan perintah dari khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Abul Aswad Ad-Dauly (w.69 H) telah membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan Bahasa Arab sehingga khalifah ‘Ali dianggap sebagai peletak batu pertama bagi “Ilmu I’rabul Qur’an”;[19]
8.      Dan lain-lain.

C.    SUMBER HUKUM ISLAM MASA KHULAFA AL-RASYIDUN
Diantara sumber-sumber rujukan yang digunakan para tokoh dan ulama masa ini ialah Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qias.[20] Namun ada pula yang tidak memasukan Qias di dalamnya.[21]
Jalan penggalian hukum dengan sumber rujukan pada masa ini tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Maimun bin Mahran sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi yang artinya:
“Abu Bakar apabila diadukan kepadanya perselisihan ia melihat pada Kitabullah, bila ditemukan hukum yang dapat memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hukum tersebut. Akan tetapi bila tidak mendapatkan dalam kitabullah dan mengetahui Sunnah Rasulullah tentang hal itu, ia memutuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak ditemukan juga (dalam sunnah) ia bertanya kepada sahabat; apakah diantara kalian ada yang tau Rasulullah menetapkan hukum dalam masalah ini?. Terkadang beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara seperti itu dan terkadang tidak. Bila tidak memperoleh, ia mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk bermusyawarah, bila diperoleh kesepakatan hukumnya, ia memutuskan dengan hasil kesepakatan tersebut”[22]
Dari hadits diatas dapat disimpulkan langkah-langkah Abu Bakar dalam mengistimbatkan hukum ialah:[23]
1.      Mencari ketentuan hukum di dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an;
2.      Apabila tidak menemukan dalam Al-Qur’an, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah;
3.      Jika tidak ditemukan dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah pernah memutuskan perkara yang sama pada zamannya;
4.      Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia bermusyawarah dengan para pembesar sahabat.
Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama, bila ia dihadapkan suatu masalah, ia melihat Kitabullah dan Sunnah. Jika ia tidak menemukannya ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan perkara seperti itu, jika ia mendapati Abu Bakar pernah memutuskan perkara tersebut, maka ia memutuskan dengan keputusan Abu Bakar tersebut.[24] Namun secara operasional tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum.[25]
Diantara contoh perbedaan operasionalnya ialah dalam konsep musyawarah. Dilihat dari cara Khalifah Abu bakar dalam bermusyawarah langsung secara umum. Khalifah Umar bin Kahttab mempunyai dua cara bermusyawarah yaitu “Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum.”[26] Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang membahas masalah kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Masjid, yaitu apabila ada masalah yang sangan penting seperti kasus tanah Irak yang dijadikan tanah Khardj.[27]
Berikut penjelasan singkat tentang sumber-sumber hukum Islam masa Khulafa Al-Rasyidun:
1.      AL-QUR’AN
Al-Qur’an sebagai rujukan pertama para sahabat atau ulama masa ini mendapat perhatian yang begitu penting. Setelah banyak para penghafal Al-Qur’an yang wafat dalam peperangan, khalifah Umar Bin Khattab berpendapat bahwa sangat mengkhawatirkan jika orang-orang yang menghafal Al-Qur’an makin hari makin sedikit jumlahnya. Sehingga Umarpun bermufakat dengan Abu Bakar dan sahabat lainnya untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an.[28]
Penggunaan Al-Qur’an sebagai rujukan pertama sesuai dengan pesan yang tertera dalam Al-Qur’an itu sendiri. Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”[29]
Dari ayat diatas, jelas sekali perintah untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menentukan kebenaran atau kesalahan diantara manusia. Selain itu, banyak dari para sahabat yang mengetahui, menyaksikan bahkan menjadi sebab diturunkannya suatu ayat atau surah dari Al-Qur’an sehingga mereka lebih mengetahui maksud dan penerapan dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada masa khalifah Utsman Bin Affan, mushaf Al-Qur’an disalin oleh Zaid Bin Tsabit, Sa’ad Bin Ash, Abdurrahman Bin Harits, dan Abdullah Bin Zubair[30] yang selanjutnya dikirim ke berbagai kota.
Diantara pokok-pokok isi Al-Qur’an ialah Rukun Iman (percaya kepada Allah, Rasul-Rasul, Malaikat, Kitab-Kitab Allah, Hari Kiamat, dan percaya pada Qada dan Qadar) yaitu hal-hal yang tetap berlaku dan telah menjadi aturan tertentu. Rukun Islam (Syahadat, Salat, Puasa, Zakat dan Fitrah, Serta Haji dan Umrah). Munakahat (Perkawinan), Muamalah (hukum pergaulan dalam masyarakat atau HukumPrivat), Jinayah (HukumPidana), Aqdiyat (hukum mengenai mendirikan pengadilan), Khalifah (Pemerintahan), Ath’imah (Makanan dan Minuman), dan Jihad (Peperangan).[31]
2.      AS-SUNNAH
Sunnah atau Hadits Rasulullah SAW. Dalam fiqih ialah himpunan ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang didiamkan Nabi yang bisa dibagi kedalam tiga macam yaitu perkataan (qaul), perbuatan (fiil), dan hal-hal yang didiamkan (taqrir atau sukut).[32] Dasar hukum menjadikan Hadits sebagai sumber hukum ialah surah Al-Hasyr ayat 7:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”[33]
Kedudukan Hadits dalam sumber hukum Islam menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Adapun fungsi hadits terhadap Al-Qur’an ialah memberikan perincian terhadap hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang masih Mujmal dan penetapan hukum yang belum diatur dalam Al-Qur’an secara jelas.[34]
Pada masa ini, hadits belum dibukukan sebagaimana Al-Quran dikarenakan kehawatiran akan tercampurkannya dengan Al-Qur’an. Hadits baru dibukukan pada masa kalifah Umar Bin Abdul Aziz.[35]
Namun bukan berarti hadits dikesampingkan. Pada masa ini hadits begitu diperhatikan, terutama masalah penyampaiannya (periwayatan hadits). Dikabarkan bahwa pada masa ini terdapat fenomena baru terhadap hadits yang berupa sikap para sahabat dalam penyeleksian yang ketat terhadap periwayatan Sunnah.[36]
Menurut Mun’im, terdapat dua alasan mengapa para sahabat bertindak demikian, yaitu adanya kekhawatiran akan kesalahan dan penyelewengan karena lupa misalnya atau karena kesalahan dalam menyampaikan riwayat, dan adanya kekhawatiran akan masuknya berita bohong ke dalam hadits oleh orang-orang yang memang sengaja ingin merusak Islam dari dalam.[37]
Maka kita dapat mengetahui bahwa pada masa ini, mulai muncul benih-benih dari Ilmu Musthalah Hadits.[38]
3.      IJTIHAD
Ijtihad secara Etimologi berasal dari kata Al-jahd yang berarti Al-Masyaqat (kesulitan atau kesukaran) dan At-Thaqat (kesanggupan atau kemampuan).[39] Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada, penambahan huruf hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada berarti usaha itu lebih sungguh –sungguh[40]. Sedangkan secara Terminologi ialah “Mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya”.[41]
Diantara pola ijtihad para sahabat pada periode ini ialah dengan membahas bersama permasalahan yang belum ditemukan hukum-hukumnya atau lazim disebut dengan Ijmak Sahabat. Pada mulanya ijtihad yang dilakukan pada masa ini ialah ijtihad secara berkelompok (kolektif) namun karena para shabat banyak yang pindah ke daerah yang baru ditaklukan dan sulit untuk mengumpulkan mereka, maka ijtihad pun dilakukan secara Individual.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam. Ijmak secara kebahasaan berarti mengumpulkan, sedangkan menurut istilah ialah kesatuan pendapat dari ahli-ahli hukum dalam satu maalah dan wilayah tertentu.[42] Sedangkan yang lain mengatakan sebagai suatu kebulatan pendapat para Mujtahidin dan ummat di suatu masa sesudah berakhir zaman risalah terhadap suatu hukum Syara’.[43]
Hal-hal yang menyebabkan para sahabat untuk melakukan ijtihad ialah makin kompleksnya masalah yang muncul akibat dari meluasnya kekuasaan Islam sehingga terjadilah persinggungan antara Islam dengan kebudayaan diluar Jazirah Arab yang lebih maju[44] serta menuntut suatu pemecahan dalam hal hukumnya seperti kasus Usyuur (bea masuk barang-barang impor), tanah-tanah yang luas yang dikuasai dijadikan tanah Khardj, kasus Mu’allaf di zaman Umar bin Khattab dan lainnya.[45]
D.    PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa pada periode ini merupakan periode terpenting dalam pembentukan hukum. Dalam periode yang menghabiskan waktu kira-kira tiga puluh tahun ini paling tidak ada dua hal yang paling penting yaitu; Adaptasi sunnah terhadap teradisi arab dan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Utsman.[46] Sedangkan menurut Atiah Musyrifah bahwa ada tiga keistimewaan yang menonjol pada masa Khulafa Al-Rasyidun ini, yaitu kodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan penyebarannya, prtumbuhan Tasyri’ berdasar ra’yu dan ijma, serta pengaturan pengadilan.[47]
Dilihat dari uraian pendapat para ahli diatas maka dapat dikatakan hukum Islam pada masa ini secara operasional sangat hidup dan semarak.[48] Hal ini tidak terlepas dari peran-peran para tokoh di masa ini.
Tokoh sahabat yang berperan dan aktif dalam berfatwa jumlahnya mencapai sekitar 130 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan.[49] Selain itu, terbatasnya literatur membuat sulitnya melihat Transformasi atau perubahan fatwa sahabat dari waktu ke waktu.[50] Maka pada makalah ini kami hanya menyebutkan segelintir dari mereka. Diantara para tokoh yang berperan atau berpengaruh dimasa ini ialah:
Abu Bakar ialah khalifah pertama, hasil pemilihan di Tsaqifah Bani Sa’dah. Diantara ijtihadnya ialah berkenaan dengan harta peninggalan Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa ahli waris mewarisi harta pusaka muwaris jika meninggalkan harta. Sebagaimana firman Allah:
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”[51]
Ketika Nabi Muhammad wafat, ahli warisnya ialah Fatimah, namun karena Nabi pernah bersabda:
نَحْنُ مَعَاشَرَ الْاَنْبِيَاءِ لَا نُوْرِثُ مَا تَرَكَنَاهُ صَدَقَةٌ
Artinya: “kami adalah sekalian para Nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah”
Abu Bakar berijtihad bahwa hadits tersebut men-takhshish surah An-Nisa ayat ke-11 sehingga Fatimah tidak mendapat warisan karena harta peninggalan Nabi adalah shadaqah.[52]
Contoh lain ialah dalam memghadapi kelompok yang enggan membayar zakat. Menurut mereka zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rassulullah masih hidup.[53] Mereka mendasarkan pendapat mereka dengan salah satu ayat Al-Qur’an yaitu Surah At-Taubah (9): 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”[54]
Mereka beralasan bahwa bentuk “Amr” (printah) pada ayat ini  ditujukan hanya kepada kepada Nabi Muhammad, sehingga kewajiban zakat dengan sendirinya terhenti dengan wafatnya beliau dan do’a yang dimaksud pada ayat tersebut ialah do’a Rasulullah, bukan selain beliau.[55]
Melihat keadaan ini, Abu Bakar mengambil sikap tegas terhadap mereka dengan menasehati terlebih dahulu dan setelah itu mereka tidak mau, ia memerangi mereka karena tafsir yang mereka kemukakan keliru dan dapat mempreteli sendi-sendi pokok ajaran Islam serta dapat membahayakan keutuhan ummat.[56]
Dilihat dari tindakannya tersebut, Abu Bakar sangat tegas dalam menegakan hukum, tidak pandang bulu.
Umar Bin Khattab ialah khalifah kedua. Umar dikenal sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima hadits.[57] Dintara ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab ialah masalah shalat Tarawih atau Qiyam Al-Ramadlan yang pada zaman Nabi dilakukan di masjid secara individual (munfarid). Kemudian umar mengumpulkan mereka dan umat Islam yang ada di masjid diperintahkan untuk salat tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam. Menurutnya shalat tarawih berjamaah ialah mandub.[58]
Dalam menetapkan hukum, Umar sangat tegas, namun tidak terlalu terpaku kepada nash-nash yang ada seperti dalam kasus pencurian di masa sulit. Selain itu, pendapatnya juga lebih menjurus kepada Maqashid Al-Tasyri’ التَّشْرِيْع) (مَقَاصِدُ atau tujuan hukum. Selain itu, Umar lebih mengedepankan makna batin daripada makna lahir, lebih mengedepankan moral hukum dari pada logika formal dalam menangkap isyarat-isyarat tertentu dan makna-makna Al-Qur’an. Lantaran ide-ide kreatifnya itu, Umar diakui baik oleh kalangan sarjana Muslim maupun oleh kalangan sarjana Non muslim sebagai orang kedua setelah Nabi Muhammad yang paling menentukan dalam sejarah hukum Islam.[59]
Salah satu contoh ide kretifnya ialah masalah bea masul impor. Dalam menjawab surat Abu Musa, yang menanyakan perihal berapa biaya bea masul impor yang harus dikenakan kepada non muslim, Umar menjawab:
خَذْ أَنْتَ مِنْهُمْ كَمَا يَأْخُذُوْنَهُ مِنْ تِجَارِ الْمُسْلِمِيْن
Artinya: “Ambillah olehmu (bea impor) sebagaimana mereka mengambil (bea impor) untuk pedagang muslim”
Dalam hal ini, pengambilan bea impor ialah sebesar 10%, karena mereka juga mengambil bea impor pedagang muslim ialah 10%.[60]
Khalifah ketiga ialah Utsman Bin Affan. Diantara ijtihadnya ialah bahwa istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit kemudian suaminya meninggal karena sakitnya itu, maka istri mendapatkan harta pusaka baik dalam keadaan tunggu maupun tidak.[61]
Khalifah Utsman dalam menentukan hukum lebih lunak daripada yang lainnya. Hal ini juga terlihat dari kebijakannya yang membagikan tanah kepada para gubernur.
Khalifah terakir ialah Ali Bin Abi Thalib. Diantara ijtihadnya ialah mengenai hukuman bagi peminum “Khamar”. Didalam Al-Qur’an keharaman khamar ditetapkan berangsur-angsur, namun tidak dijelaskan sanksi bagi yang melanggar keharaman tersebut. Ali berpendapat bahwa sanksi bagi peminum kahmar adalah 80 kali pukulan karena pelanggaran atau tindakan meminum khamar diqiyaskan pada penuduh zina (qadzaf). Ali berkata:
اِنَّهُ اِذَاشَرِبَ هَذَى وَاِذَ هَذَى اِفْتَرَى وَعَلَى الْمُفْتَرِيْ ثَمَانُوْنَ جَلْدَةً
Artinya: “Apabila minum khamar, orang akan mabuk. Orang mabuk akan menuduh dan sanksi bagi penuduh adalah delapan puluh kali cambukan”[62]
Dalam menetapkan hukum, Ali bin Abi Thalib tegas serta mencoba mengembalikan keadaan di masa Umar. Hal ini terlihat juga dari kebijakannya setelah menjadi khalifah dengan memecat serta mengambil kembali tanah yang pernah dibagikan Utsman kepada para gubernur. Maka dari itulah Ali banyak mendapatkan perlawanan dari para mantan gubernur terutama dari Muawiyah Bin Abi Sofyan.
Meskipun pada masa kepemimpinannya dihadapkan kepada situasi polotik yangpanas dan rawan, bukan berarti ia tidak membuat suatu kebijakan, diantara kebijakan-kebijakan yang sempat dicetuskannya ialah dalam hal urusan korespndensi, pajak, angkatan bersenjata dan dalam hal urusan administrasi peradilan.[63]
Sahabat lain yang melakukan ijtihad pada masaini ialah Abdullah Ibnu Mas’ud. Diantara ijtihad beliau adalah mengenai waktu tunggu wanita yang hamil ditinggal mati suaminya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam surah Al-Baqarah (2): 234 bahwa istri yang ditinggal mati suaminya menunggu empat bulan sepuluh hari.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari[64]
Sedangkan dalam surah yang lain dijelaskan:
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya[65]
Dalam hal ini Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa surat Al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dan surat At-Thalaq ayat 4 turun kemudian sehingga ayat yang turun kemudian membatasi (takhshish) keumuman makna ayat yang turun terdahulu sehingga dalam kasus ini Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa isti harus menunggu dengan waktu tunggu hamil.[66]
Selain Ibnu Mas’ud, ada juga sahabat lainnya yang berijtihad seperti dalam kasus kata “Quru’” dalam surah Al-Baqarah (2): 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[67]
Dalam hal ini, Al-Khalifa Al-Rasyidun, Abu Musa Al-Asy’ary dan ‘Ubadah bin Shamit berpendapat bahwa arti dari kata Quru’ pada ayat tersebut ialah “Al-Haidl” sehingga mereka mengatakan waktu tunggu istri yang ditalak ialah tiga kali haid. Sedangkan ‘Aisyah dan Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa arti kata Quru’pada ayat tersebut ialah “At-Thuhr” sehingga mereka mengatakan waktu tunggu istri yang ditalak ialah tiga kali suci.[68]
Jika kita perhatikan, banyak para sahabat yang berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum. Perbedaan pendapat diantara mereka bukanlah tanpa alasan. Penyebab ikhtilaf pada zaman ini dapat dibedakan menjadi beberapa sebab, yaitu:
1.      Karena sifat Al-Qur’an, seperti terdapatnya kata atau lafaz yang bermakna ganda (Isytirak), hukum dalam Al-Qur’an berdiri sendiri tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus.[69]
2.      Karena persoalan Sunnah seperti tidak semua sahabat memiliki pengetahuan tentang Sunnah yang sama, terkadang suatu riwayat telah sampai kepada seorang sahabat dan terkadang belum sampai kepada sahabat yang lainnya, dan perbedaan pendapat dalam memandang dan Menakwilkan Sunnah.[70]
3.      Perbedaan dalam menggunakan Ra’yu[71] seperti perbedaan sudut pandang dalam memandang suatu masalah.
4.      Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian juga kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum berbeda-beda dan bertingkat tingkat juga.[72]
Pada dasarnya khittah yang mereka tempuh mengenai prinsip-prinsip tasyri’ secara global yang mereka gunakan dalam proses penetapan hukum adalah penetapan sesuai dengan apa yang dibutuhkan saja dengan mempertimbangkan kemaslahatan serta menjaga kemudahan dan keringanan.[73]
E.     PENGARUH DAN PRODUK YANG DIHASILKAN
Diantara pengaruh dan produk yang dihasilkan dalam masa Khulafa Al- Rasyidun ini ialah:
1.      Penjelasan-penjelasan (Intrepretasi) terhadap nash Al-Qur’an oleh para sahabat. Pendapat mereka yang dipergunakan dalam memahami nash menjadi syarah penjelasan dalam nash hukum.[74]
2.      Sekumpulan fatwa-fatwa hasil ijtihad sahabat dalam masalah yang tidak ada nashnya.[75] Selanjutnya menjadi bahan rujukan dan pertimbangan dalam penetapan hukum dikemudian hari.
3.      Penghimpunan Al-Qur’an dalam satu naskah pada zaman Abu Bakar yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyalinan Al-Qur’an setandar yang disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman dan dikirim keberbagai kota.
4.      Periode ini memberikan klasifikasi tentang kaidah-kaidah Ushuliyyah dan metode Ijtihad.[76]
5.      Pola pikir Umar yang menjadi cikal bakal para mujtahid terkemudian.[77] Maksudnya karakteristik pemikiran Umar bin Khattab banyak ditiru oleh Mujtahid di kemudian hari.
6.      Utsman Bin Affan membuat Al-Qur’an standar dengan membentuk panitia yang menyalin kembali naskah-naskah Al-Qur’an yang selanjutnya dinamakan MushafUtsmany. Tindakan Utsman tersebut, disebut-sebut sebagai peletakan batu pertama bagi ilmu yang kemudian hari disebut dengan “Ilmu Rasmil Qur’an” atau “Ilmu Rasmil Utsmani.”[78]
7.      Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul Aswad Ad-Dauly (w.69 H) untuk membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan Bahasa Arab sehingga khalifah ‘Ali dianggap sebagai peletak batu pertama bagi “Ilmu I’rabul Qur’an.”[79]
8.      Tidak ditulisnya Hadits menyebabkan ulama-ulama selanjutnya melakukan penelitian sehingga memunculkan Ilmu Musthalah Hadits.[80]
9.      Penentuan pokok-pokok pikiran mengenai peradilan yang dilakukan pada masa Umar sebagaimana isi surat yang diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ary yang isinya  kewajiban seorang hakim, keputusan hakim harus seadil-adilnya, hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, serta adanya yurispundensi sebagai sumberhukum yang harus dipakai dalam kasus-kasus tertentu.[81]
10.  Lahirnya tiga golongan besar dalam Islam berkaitan dengan persoalan khilafah dan khalifah yang kemudian hari sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum dalam Islam.[82]
11.  Terlahirnya corak pemilihan khalifah dalam Islam yang disepakati oleh sebagian besar ulama yaitu berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka” seperti kasusu pengngkatan Abu Bakar, “penunjukan kepala negara pendahulu” seperti dalam hal penunjukan Umar oleh Abu Bakar, “pemilihan dalam suatu dewan formatur” seperti proses kekhalifahan Utsman, dan berdasarkan “pemilihan melalui musyawarah  dalam pertemuan terbuka” atau “pembai’atan (pilihan) mayoritas ummat” sebagaimana Ali.[83] Namun dalam hal ini, berdasarkan fakta sejarah terus berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi suatu daerah atau negara baik politik atau budayanya.
12.  Penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah telah membuka babak baru dalam peradaban Islam dengan lahirnya DinastiUmayyah.

F.     KESIMPULAN
Dilihat dari uraian  diatas, pemakalah menyimpulkan bahwa:
1.      Masyarakat pada masa ini mengalami tiga periode yaitu periode kesedihan dan guncangan iman karena wafatnya Nabi, peroide kebangkitan dan kejayaan, dan periode kemunduran dan fitnah.
2.      Kegiatan keilmuan pada yang sangat penting masa ini ialah pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an. Sedangkan yang menyangkut hukum sebagian besar masih berupa opersional hukum Islam.
3.      Sumber hukum Islam pada masa ini berupa Al-Qur’an, Sunnah serta Ijtihad yang berupa penrombakan hukum dan pencarian hukum yant tidak dijelaskan dalm Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Munculnya berbagai benih-benih disiplin ilmu keislaman seperti Ilmu Musthalah Hadits, Ilmu Rasmil Qur’an atau Ilmu Rasmil Utsmani dan Ilmu I’rabul Qur’an.
5.      Secara operasional, mulai muncul berbagai perombakan dalam bidang Fiqih.
6.      Dalam menetapkan hukum para sahabat sering terjadi ikhtilaf, namun pada dasarnya pendapat mereka didasari argumentasi atas apa yang difatwakannya serta menjurus kepada kemaslahatan umat dan tujuan hukum.
7.      Timbulnya tiga golongan besar dalam Islam yang sangat berpengaruh dalam penetapan dan pembentukan hukum Islam dikemudian hari.
8.      Pengaruh dan sumbangsih yang besar kepada generasi selanjutnya yang pemakalah anggap penting ialah pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an, fatwa-fatwa sahabat yang menjadi rujukan ulama kemudian.




DAFTAR PUSTAKA

AL-QUR’AN AL-KARIM, Program Al-Qur’an Digital oleh Abu Adillah Muhammad Sulaiman Farisy, Version 1,1.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam, Jakata: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2005
___________, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah (Edisi Revisi), Bogor: Kencana, 2003
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Khairil Umam dan H. A Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001
Mohd. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam;  Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001
T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993
____________________, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967



[1]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm.69
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005, cet ke-5) hlm.145
[5] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam, (Jakata: PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm.36
[6]Ibid, 37
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 39
[10]Ibid, 40
[11]Djazuli, Ilmu Fiqh...149
[12]Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hlm.123.
[13]Ibid
[14] Djazuli, Fiqih Siyasah…,27
[15]Ibid,124
[16]T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) hlm.2
[17] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) hlm. 37
[18]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[19]Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu...,2
[20]Ramulyo, Asas-Asas...,125
[21]T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967) hlm.44
[22]Supriyadi, Sejarah Hukum...,71
[23]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003) hlm.38.
[24]Ibid.
[25]Ibid,70
[26]Djazuli, Ilmu Fiqh...,147
[27]Ibid.
[28]Ramulyo, Asas-Asas…,47
[29] Al-Qur’an Al-Karim, Surah An-Nisa’ (4) Ayat ke-185
[30]Ramulyo, Asas-Asas…,47
[31]Ibid,50
[32]Ibid,51
[33]QS  Al-Hasyr (59):7
[34] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001) hlm.11
[35]Ramulyo, Asas-Asas…,51
[36] Mun’im, Sejarah Fiqih ...,37
[37]Ibid.
[38]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[39] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2007) hlm.97
[40] Ibid,98
[41] Khairil Umam dan H. A Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) hlm.131
[42]Ramulyo, Asas-Asas…,54
[43]Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu…,170
[44]Djazuli, Ilmu Fiqh...,147
[45]Ibid.
[46] Supriyadi, Sejarah Hukum...,67
[47]Ibid,78
[48]Ibid.
[49]Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 46
[50]Mubarok, Sejarahdan...,44
[51]Q.S.Surah An-Nisa (4): 11
[52]Mubarok, Sejarah dan...,44-45
[53] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah (Edisi Revisi), (Bogor: Kencana, 2003) hlm.28
[54] QS At-Taubah (9): 103
[55] Djazuli, Fiqih Siyasah…,28
[56] Ibid.
[57]Mubarok, Sejarah dan...,44-45
[58]Ibid,46
[59]Supriyadi, Sejarah Hukum...,79
[60] Djazuli, Fiqih Siyasah…,29
[61]Mubarok, Sejarah dan...,48
[62]Ibid.
[63] Djazuli, Fiqih Siyasah…,33
[64]Q.S. Al-Baqarah (2): 234
[65]Q.S At-Thalaq (65): 4
[66]Mubarok, Sejarah dan...,50
[67]Q.S. Al-Baqarah (2): 228
[68]Mubarok, Sejarah dan...,50
[69]Supriyadi, Sejarah Hukum...,75
[70]Ibid,76
[71]Ibid,77
[72]Khallaf, Sejarah Pembentukan...,58
[73]Ibid.
[74]Ashshiddieqy, Pengantar…,50
[75]Ibid.
[76]Supriyadi, Sejarah Hukum...,78
[77]Ibid.
[78]T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an; Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993) hlm.2
[79]Ashshiddieqy, Ilmu-Ilmu...,2
[80]Djazuli, Ilmu Fiqh...,146
[81]Ramulyo, Asas-Asas…,124
[82]Khallaf, Sejarah Pembentukan...,60
[83] Djazuli, Fiqih Siyasah…,27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar